Senin, 20 Desember 2010

GAJAH MADA TERNYATA ORANG DAYAK

Soal nama Gajah Mada menurut masyarakat Dayak di Kalbar perlu diketahui bahwa Gajah Mada bukan orang Jawa, ia adalah asli orang Dayak yang berasal dari Kalimantan Barat, asal usul kampungnya yaitu di Kecamatan Toba (Tobag), Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat (saat ini).

Banyak masyarakat Dayak percaya bahwa Gajah Mada adalah orang Dayak, hal itu berkaitan dengan kisah tutur tinular masyarakat Dayak Tobag, Mali, Simpang dan Dayak Krio yang menyatakan Gajah Mada adalah orang Dayak. Ada sedikit perubahan nama dari Gajah Mada pada Dayak Krio menjadi Jaga Mada bukan Gajah Mada namun Dayak lainnya menyebutnya dengan Gajah Mada.

Sebutan itu sudah ada sejak lama dan Gajah Mada dianggap salah satu Demung Adat yang hilang. Ada kemungkinan ia diutus Raja-Raja di Kalimantan. Ia berasal dari sebuah kampung di wilayah Kecamatan Toba (saat ini). Hal itu dibuktikan dengan ritual memandikan perlengkapan peninggalan Gajah Mada setiap tahunnya. Gajah Mada dianggap menghilang dan tidak pernah kembali ke Kalimantan Barat.

Kisah yang memperkuat bahwa ia memang asli Dayak dan berasal dari Kalbar yaitu ia adalah seorang Demung Adat dibawah kekuasaan Raja-Raja di Kalimantan. Ia seorang Demung dari 10 kampung yang ada, namun setelah dia menghilang entah kemana, kampung tersebut kehilangan satu Demung Adatnya sehingga Demung Adat di wilayah itu tinggal 9 orang saja lagi.

Kisah ini sampai sekarang masih dituturkan oleh kelompok masyarakat Dayak ditempat asalnya Gajah Mada. Bukti-bukti tersebut sangat kuat dan bisa dibuktikan sebab Kerajaan tertua letaknya bukan di Jawa tetapi justeru di Kalimantan sehingga unsur Hindu lebih mempengaruhi setiap sikap dan tata cara hidup dan Hindu pun lebih dulu ada di Kalimantan bukan di Jawa. Alasan ini sangat masuk akal bahwa pengaruh Hindu di Jawa sangat dipengaruhi oleh kerajaan Kutai di Kalimantan dan kemungkinan Gajah Mada adalah orang kuat yang diutus kerajaan Kutai untuk menjajah nusantara termasuk Jawa.

Dalam kisah Patih Gumantar Dayak Kanayatn (Dayak Ahe) Kalimantan Barat bahwa Patih Gajah Mada adalah saudaranya Patih Gumantar, mereka ada 7 bersaudara. (Baca Buku, Mencermati Dayak Kanyatan)

Satu lagi soal nama Patih Gajah Mada bahwa gelar Patih itu sendiri hanya ada di Kalimantan khususnya Kalbar dan satu-satunya patih di Jawa adalah Gajah Mada itu sendiri, tidak ada patih lain dan itu membuktikan bahwa gelar “Patih” berasal dari silsilah kerajaan di Kalimantan bukan dari Jawa.

sumber : www.sukasejarah.org
Diposkan oleh Yohansen Borneo di Senin, Desember 20, 2010

Dana Bagi Hasil ( dalam UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004)

Dana Bagi Hasil ( dalam UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004)

Pasal 11

(1) Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam.

(2) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

terdiri atas:

a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);

b. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan

c. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam

Negeri da...n PPh Pasal 21.

(3) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) berasal dari:

a. kehutanan;

b. pertambangan umum;

c. perikanan;

d. pertambangan minyak bumi;

e. pertambangan gas bumi; dan

f. pertambangan panas bumi.

Pasal 12

(1) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB dan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 11 ayat (2) huruf a dan huruf b dibagi antara daerah provinsi, daerah

kabupaten/kota, dan Pemerintah.

(2) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% (sembilan puluh persen) untuk

Daerah dengan rincian sebagai berikut:

a. 16,2% (enam belas dua persepuluh persen) untuk daerah provinsi yang

bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah provinsi;

b. 64,8% (enam puluh empat delapan persepuluh persen) untuk daerah

kabupaten/kota yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum

Daerah kabupaten/kota; dan

c. 9% (sembilan persen) untuk biaya pemungutan.

(3) 10% (sepuluh persen) bagian Pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan kepada

seluruh daerah kabupaten dan kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB

tahun anggaran berjalan, dengan imbangan sebagai berikut:

a. 65% (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata kepada seluruh daerah

kabupaten dan kota; dan

b. 35% (tiga puluh lima persen) dibagikan sebagai insentif kepada daerah kabupaten

dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana

penerimaan sektor tertentu.

(4) Dana Bagi Hasil dari penerimaan BPHTB adalah sebesar 80% (delapan puluh persen)

dengan rincian sebagai berikut:

a. 16% (enam belas persen) untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan

ke Rekening Kas Umum Daerah provinsi; dan

b. 64% (enam puluh empat persen) untuk daerah kabupaten dan kota penghasil dan

disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota.

(5) 20% (dua puluh persen) bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTB dibagikan

dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten dan kota.

(6) Penyaluran Dana Bagi Hasil PBB dan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

dan ayat (4) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 13

(1) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang

Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat

(2) huruf c yang merupakan bagian Daerah adalah sebesar 20% (dua puluh persen).

(2) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi

antara Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota.

(3) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang

Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi

dengan imbangan 60% (enam puluh persen) untuk kabupaten/kota dan 40% (empat

puluh persen) untuk provinsi.

(4) Penyaluran Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan

secara triwulanan.

Pasal 14

Pembagian Penerimaan Negara yang berasal dari sumber daya alam sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) ditetapkan sebagai berikut:

a. Penerimaan Kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan

(IHPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang dihasilkan dari wilayah

Daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk

Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.

b. Penerimaan Kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi dibagi dengan imbangan

sebesar 60% (enam puluh persen) untuk Pemerintah dan 40% (empat puluh persen)

untuk Daerah.

c. Penerimaan Pertambangan Umum yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang

bersangkutan, dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah

dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.

d. Penerimaan Perikanan yang diterima secara nasional dibagi dengan imbangan 20%

(dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk seluruh

kabupaten/kota.

e. Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang

bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan

peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan:

1. 84,5% (delapan puluh empat setengah persen) untuk Pemerintah; dan

2. 15,5% (lima belas setengah persen) untuk Daerah.

f. Penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang

bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan

peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan:

1. 69,5% (enam puluh sembilan setengah persen) untuk Pemerintah; dan

2. 30,5% (tiga puluh setengah persen) untuk Daerah.

g. Pertambangan Panas Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan

yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak, dibagi dengan imbangan 20%

(dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.

Pasal 15

(1) Dana Bagi Hasil dari penerimaan IHPH yang menjadi bagian Daerah sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, dibagi dengan rincian:

a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi; dan

b. 64% (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota penghasil.

(2) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PSDH yang menjadi bagian Daerah sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, dibagi dengan rincian:

a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan;

b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan

c. 32% (tiga puluh dua persen) dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk

kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.

Pasal 16

Dana Bagi Hasil dari Dana Reboisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b:

a. 60% (enam puluh persen) bagian Pemerintah digunakan untuk rehabilitasi hutan dan

lahan secara nasional; dan

b. 40% (empat puluh persen) bagian daerah digunakan untuk kegiatan rehabilitasi hutan

dan lahan di kabupaten/kota penghasil.

Pasal 17

(1) Penerimaan Pertambangan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c

terdiri atas:

a. Penerimaan Iuran Tetap (Land-rent); dan

b. Penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalti).

(2) Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara Iuran Tetap (Land-rent) yang menjadi

bagian Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibagi dengan rincian:

a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan

b. 64% (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota penghasil.

(3) Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi

(Royalti) yang menjadi bagian Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,

dibagi dengan rincian:

a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan;

b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan

c. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang

bersangkutan.

(4) Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dibagikan

dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota dalam provinsi yang

bersangkutan.

Pasal 18

(1) Penerimaan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf d terdiri atas:

a. Penerimaan Pungutan Pengusahaan Perikanan; dan

b. Penerimaan Pungutan Hasil Perikanan.

(2) Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara sektor perikanan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 14 huruf d dibagikan dengan porsi yang sama besar kepada

kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Pasal 19

(1) Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagikan ke Daerah

adalah Penerimaan Negara dari sumber daya alam Pertambangan Minyak Bumi dan

Gas Bumi dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak

dan pungutan lainnya.

(2) Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 14 huruf e angka 2 sebesar 15% (lima belas persen) dibagi dengan rincian

sebagai berikut:

a. 3% (tiga persen) dibagikan untuk provinsi yang ber-sangkutan;

b. 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan

c. 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang

bersangkutan.

(3) Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal

14 huruf f angka 2 sebesar 30% (tiga puluh persen) dibagi dengan rincian sebagai

berikut:

a. 6% (enam persen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan;

b. 12% (dua belas persen) dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan

c. 12% (dua belas persen) dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi

bersangkutan.

(4) Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan ayat (3)

huruf c, dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota dalam

provinsi yang bersangkutan.

Pasal 20

(1) Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 14 huruf e angka 2 dan huruf f angka 2 sebesar 0,5% (setengah

persen) dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar.

(2) Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi masing-masing dengan

rincian sebagai berikut:

a. 0,1% (satu persepuluh persen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan;

b. 0,2% (dua persepuluh persen) dibagikan untuk kabupaten/ kota penghasil; dan

c. 0,2% (dua persepuluh persen) dibagikan untuk kabupaten/ kota lainnya dalam

provinsi yang bersangkutan.

(3) Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dibagikan

dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota dalam provinsi yang

bersangkutan.

Pasal 21

(1) Penerimaan Negara dari Pertambangan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 14 huruf g merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terdiri atas:

a. Setoran Bagian Pemerintah; dan

b. Iuran tetap dan iuran produksi.

(2) Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Pertambangan Panas Bumi yang dibagikan kepada

Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf g dibagi dengan rincian:

a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan;

b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan

c. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang

bersangkutan.

(3) Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dibagikan

dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota dalam provinsi yang

bersangkutan.

Pasal 22

Pemerintah menetapkan alokasi Dana Bagi Hasil yang berasal dari sumber daya alam

sesuai dengan penetapan dasar perhitungan dan daerah penghasil.

Pasal 23

Dana Bagi Hasil yang merupakan bagian Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11

disalurkan berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaran berjalan.

Pasal 24

(1) Realisasi penyaluran Dana Bagi Hasil yang berasal dari sektor minyak bumi dan gas

bumi tidak melebihi 130% (seratus tiga puluh persen) dari asumsi dasar harga minyak

bumi dan gas bumi dalam APBN tahun berjalan.

(2) Dalam hal Dana Bagi Hasil sektor minyak bumi dan gas bumi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) melebihi 130% (seratus tiga puluh persen), penyaluran dilakukan

melalui mekanisme APBN Perubahan.

Pasal 25

Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat

(2) dikenakan sanksi administrasi berupa pemotongan atas penyaluran Dana Bagi Hasil

sektor minyak bumi dan gas bumi.

Pasal 26

Ketentuan lebih lanjut mengenai Dana Bagi Hasil diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Senin, 22 November 2010

Entah ideologi apa yang ada di tubuh organisasi ini? Keluarga Pelajar Mahasiswa Kalimantan Barat (KPMKB) yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 20

Entah ideologi apa yang ada di tubuh organisasi ini? Keluarga Pelajar Mahasiswa Kalimantan Barat (KPMKB) yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 20 Juli 1951, di dalam Anggaran Dasarnya yang ditetapkan pada Musyawarah Besarnya yang ke-8 pada tanggal 5-6 Maret 2005 di... Surabaya, Bab VII tentang Asrama & Rayon, Pasal 16 Ayat 2, menyatakan : “Seluruh asrama KPMKB putra bernama Rahadi Oesman & seluruh asrama KPMKB putri bernama Dara Juanti.” Mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa KPMKB memakai cara voting untuk mengalahkan suara Dayak yang pada Mubes ke-8 itu hanya diwakili oleh 1 suara saja? Sementara suara Melayu nyata-nyata lebih dari 1. Mengapa KPMKB menolak mengakui asrama milik Pelajar Mahasiswa Dayak Kalimantan Barat yang bernama J.C.Oeavang Oeraay (JCOO) sebagai bagian dari KPMKB? Padahal KPMKB yang di dalamnya terdiri dari asrama-asrama Rahadi Oesman (RO) & asrama JCOO adalah sama-sama aset milik Pemda Provinsi Kalbar. Maka jelaslah KPMKB telah mendiskriminasikan & dengan sengaja mengkerdilkan hak-hak asrama JCOO & Dayak sebagai penduduk asli Kalimantan Barat. KPMKB mulai merakit bom waktu untuk dirinya sendiri. Asrama JCOO awalnya bernama Sekretariat Bersama J.C.Oeavang Oeraay, berdiri pada tanggal 29 Juli 2001 di Yogyakarta. Didirikan oleh putra-putra terbaik Dayak Kalbar atas kesadaran yang tinggi untuk bersatu, atas kesadaran untuk tidak lagi berjuang secara kedaerahan/kabupaten, tetapi sudah saatnya untuk memandang Dayak secara utuh sebagai penduduk asli Kalbar yang juga berhak menikmati kesempatan memiliki asrama sendiri di Yogyakarta. Tanggal 30 Agustus 2002 kesempatan emas itu akhirnya datang & berdirilah Asrama Pelajar Mahasiswa Kalbar IV J.C.Oeavang Oeraay dengan status yang sah sebagai aset Pemda Kalbar di Yogyakarta. Bulan Oktober 2002, untuk pertama kalinya diselenggarakanlah Pesta Seni & Budaya Dayak se-Kalimantan di Yogyakarta oleh Forum Komunikasi Pelajar Mahasiswa Kristiani Sintang (FKPMKS). Pada saat itu juga telah dilakukan sosialisasi tentang Asrama Pelajar Mahasiswa Kalbar IV JCOO sebagai sesama aset Pemda Kalbar yang sah kepada KPMKB, karena saat acara itu berlangsung perwakilan dari KPMKB Yogyakarta juga diundang untuk menghadiri acara tersebut. Artinya, mulai sejak itu, KPMKB sudah mengetahui keberadaan & status Asrama JCOO. Tetapi mereka secara terang-terangan & dengan sengaja pada tahun 2005 dalam Mubesnya yang ke-8 di Surabaya telah membuat Anggaran Dasar yang jelas-jelas melecehkan keberadaan Asrama JCOO, yang juga berarti melecehkan Dayak sebagai penduduk asli Kalbar yang tidak terbantahkan. Mulai sejak itu, Mubes KPMKB tidak pernah lagi diselenggarakan di Yogyakarta, yang sudah pasti dimaksudkan untuk menghindari basis kekuatan Dayak terbesar di Pulau Jawa ini. KPMKB terus merakit bom waktu untuk dirinya sendiri. Pengurus asrama JCOO bukannya tidak pernah mengurus masalah ini. Mereka pernah dengan biaya pribadi berangkat ke Jakarta pada tahun 2007 untuk menemui Kepala Kantor Perwakilan Pemerintah Provinsi Kalbar guna memperjuangkan status & hak-hak Asrama JCOO sebagaimana aset Pemda Kalbar yang lain yang bernama Asrama Rahadi Oesman. Hak yang paling mendasar di antaranya adalah seperti yang terdapat pada Anggaran Dasar KPMKB Bab IX tentang Keuangan KPMKB ayat 2 : “Dana tetap dari Pemerintah Daerah Kalbar.” Yang mana sampai dengan tulisan ini dibuat Asrama JCOO tidak pernah sekalipun mendapatkannya. Celakanya lagi, pengurus Asrama JCOO yang hanya berhasil berbicara melalui telpon (entah sudah disetting untuk tidak mau menemui atau tidak) dengan Kepala Kantor Perwakilan Pemprov Kalbar di Jakarta mendapatkan penjelasan bahwa pihaknya sudah menyerahkan sepenuhnya masalah pembagian jatah dana operasional asrama-asrama aset Pemda Kalbar ini kepada pihak KPMKB Pusat di Jakarta yang dikepalai oleh Presiden KPMKB, & ketika dikonfrontir, menurut Presiden KPMKB sendiri pada saat ini, jika Asrama JCOO ingin mendapatkan hak dana operasional tetap dari Pemda Kalbar maka nama Asrama J.C.Oeavang Oeraay harus diganti menjadi Asrama Rahadi Oesman IV. Bayangkan, kebijakan keji yang sekaligus mengalahkan kebijakan Pemda Kalbar sendiri. Apa yang salah dengan nama Asrama JCOO? Berdasarkan SK Gubernur Kalbar Nomor : 915/69/KEU-A Tahun 2002 tertanggal 1 Mei 2002 tentang Pengesahan Proyek Pembangunan Propinsi Kalbar Tahun Anggaran 2002 sudah menerangkan bahwa pembelian asrama di Yogyakarta yang kemudian bernama Asrama Pelajar Mahasiswa Kalbar IV JCOO itu adalah aset Pemda Kalbar. Berdasarkan sertifikat Hak Pakai Nomor : 00035 juga menerangkan bahwa instansi pengguna/pengelola adalah Pemda Provinsi Kalbar & diperuntukan sebagai asrama mahasiswa. Kemudian pada bulan November 2006 Asrama JCOO bahkan pernah mendapatkan perehaban ringan yang menurut pemborongnya disponsori oleh Biro Perlengkapan Pemda Kalbar. Tetapi mengapa dengan gampangnya segala bukti & fakta itu dimentahkan oleh KPMKB? Mereka betul-betul menguji kesabaran Dayak dengan bom waktunya. Beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Propinsi Kalbar yang kebetulan berkunjung ke Yogyakarta pada saat itu juga pernah menyinggahi Asrama JCOO. Mereka mendengarkan secara langsung keluh kesah para penghuni asrama, yang sampai harus mengumpulkan dana pribadi untuk membayar beban listrik, telpon, bahkan Pajak Bumi & Bangunan. Mereka juga melihat sendiri (ada juga yang memotret) kondisi asrama yang menyedihkan, bekas rembesan air, & dek ruangan yang bolong-bolong karena bocor jikalau hujan. Sekedar perbandingan, asrama-asrama Rahadi Oesman mendapat dana operasional secara rutin dari Pemprov Kalbar melalui Kantor Perwakilan Pemprov Kalbar di Jakarta & disalurkan oleh KPMKB Pusat. Sampai detik ini hasil dari kunjungan anggota-angota dewan itupun masih nihil, entah sekedar tebar-tebar pesona sajakah atau aspirasi penghuni asrama JCOO dihanyutkan entah kemana. Padahal orang penting di Biro Perlengkapan Pemda Kalbar pada saat itu sampai sekarang masih orang yang sama. Sangat tidak mungkin jika anggota-anggota dewan tersebut tidak mengenal Kepala Biro Perlengkapan Pemda Kalbar kan? Tetapi demikianlah kenyataannya. Anggota dewan masih diragukan kepeduliannya, biologisnya mungkin Dayak, tetapi jiwanya belum tentu. Mukjijat itu pun akhirnya datang pada November 2009. Putri Gubernur Kalbar yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Pusat dr.Karolin mengunjungi Asrama JCOO. Kali ini aspirasi penghuni asrama betul-betul tersalurkan. Hasilnya, pada bulan Februari 2010 Asrama JCOO tampil beda dengan wajah barunya setelah mengalami perehaban berat dengan dana perehaban yang diantar langsung oleh Perwakilan Biro Perlengkapan Pemda Kalbar. Salut kepada bukti nyata kepedulian beliau. Tetapi tetap saja masalah dana operasional rutin Asrama JCOO belum terselesaikan, & dosa-dosa KPMKB pun tidak bisa dimaafkan begitu saja. Dayak adalah penduduk asli Kalimantan Barat yang tidak terbantahkan. Dayak tidak membenci keberadaan etnis lain yang ada di Kalbar, baik yang sama-sama penduduk asli maupun pendatang. Memang dalam hal ini Dayak jauh tertinggal, KPMKB (Asrama Rahadi Oesman I) berdiri tahun 1951, sedangkan Asrama J.C.Oeavang Oeraay berdiri tahun 2001. Tetapi ketika Asrama JCOO ingin maju & menuntut hak yang sama, tidak ada alasan bagi KPMKB untuk menghambat, apalagi melarang. Tindakan pendiskriminasian seperti tertuang dalam Anggaran Dasar KPMKB pasal 16 ayat 2, serta pelecehan harus mengubah nama Asrama J.C.Oeavang Oeraay menjadi Asrama Rahadi Oesman IV untuk mendapatkan dana tetap dari Pemda Kalbar, adalah betul-betul suatu penghinaan yang tidak termaafkan. Alangkah indahnya jika kita bisa hidup berdampingan dengan damai, saling mendukung untuk maju bersama. Kami (Asrama JCOO) tidak bermaksud untuk merebut Asrama Rahadi Oesman, juga tidak bermaksud membubarkan KPMKB sekalipun di tubuh organisasi itu hanya mengakui etnis tertentu saja untuk tinggal di Asrama Rahadi Oesman. Kami yakin kami bisa belajar banyak hal di asrama kami sendiri (Asrama JCOO) & mampu untuk bersaing secara sehat dengan asrama-asrama Rahadi Oesman sebagai sesama aset Pemda Kalbar. Maka ketika kami menuntut hak yang pantas & sewajarnya kami peroleh melalui KPMKB, janganlah merakit bom waktu berdaya ledak tinggi yang nantinya justru mencelakai KPMKB sendiri. Kami juga masih mengakui KPMKB sebagai kependekan dari Keluarga Pelajar Mahasiswa Kalimantan Barat, bukan Keluarga Pelajar Melayu Kalimantan Barat. Asrama J.C.Oeavang Oeraay adalah perwakilan dari semua forum kabupaten yang ada di Yogyakarta, di dalamnya : Bengkayang, Sambas, Singkawang, Pontianak, Landak, Sanggau, Sekadau, Melawi, Sintang, Kapuas Hulu, & Ketapang. Kami pasti bersatu untuk bangkit melawan. (W_Kt)

Minggu, 21 November 2010

Pembagian Ciri Tari Dayak Di Kalimantan Barat


Bangsa Dayak di Kalimantan Barat terbagi berdasarkan sub-sub ethnik yang tersebar diseluruh kabupaten di Kalimantan Barat. Berdasarkan Ethno Linguistik dan cirri cultural gerak tari Dayak di Kalimantan Barat menjadi 4 kelompok besar, 1 kelompok kecil yakni:

1. Kendayan / Kanayatn Grop : Dayak Bukit (ahe), Banyuke, Lara, Darit, Belangin, Bakati” dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, dan sekitarnya.mempunyai gerak tari, enerjik, stakato, keras.

2. Ribunic / Jangkang Grop/ Bidoih / Bidayuh : Dayak Ribun, Pandu, Pompakng, Lintang, Pangkodatn, Jangkang, Kembayan, Simpakng, dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sanggau Kapuas, mempunyai ciri gerak tangan membuka, tidak kasar dan halus.

3. Iban / Ibanic : Dayak Iban dan sub-sub kecil lainnya, Mualang, Ketungau, Kantuk, Sebaruk, Banyur, Tabun, Bugau, Undup, Saribas, Desa, Seberuang, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sambas (perbatasan), Kabupaten Sanggau / malenggang dan sekitarnya (perbatasan) Kabupaten Sekadau (Belitang Hilir, Tengah, Hulu) Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Serawak, Sabah dan Brunai Darusalam. mempunyai ciri gerak pinggul yang dominan, tidak keras dan tidak terlalu halus.

4. Tamanic Grop : Taman, Tamambaloh dan sub nya, Kalis, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Kapuas Hulu.ciri gerak mirif kelompok ibanic, tetapi sedikit lebih halus.

5. Kayaan, punan, bukat dll.

Selain terbagi menurut ethno linguistik yang terdata menurut jumlah besar groupnya, masih banyak lagi yang belum teridentifikasikan gerak tarinya, karena menyebar dan berpencar dan terbagi menjadi suku yang kecil-kecil. Misalnya Dayak Mali / ayek-ayek, terdapat dialur jalan tayan kearah kab. ketapang. kemudian Dayak Kabupaten Ketapang, daerah Persaguan, Kendawangan, daerah Kayong, Sandai, daerah Krio, Aur kuning. Daerah Manjau dsb.

Kemudian Dayak daerah Kabupaten Sambas, yaitu Dameo / Damea, Sungkung daerah Sambas dan Kabupaten Bengkayang dan sebagainya. Kemudian daerah Kabupaten Sekadau kearah Nanga Mahap dan Nanga Taman, Jawan, Jawai, Benawas, Kematu dan lain-lain. Kemudian Kabupaten Melawi, yaitu: dayak Keninjal(mayoritas tanah pinoh;antara lain desa ribang rabing, ribang semalan, madya raya, rompam, ulakmuid, maris dll)dayak Kebahan (antara lain desa:poring,nusa kenyikap, Kayu Bunga, dll yang memiliki tari alu dan tari belonok kelenang yang hampir punah), dayak Linoh (antara lain desa:Nanga taum,sebagian ulak muid, mahikam dll), dayak pangen (Jongkong, sebagian desa balaiagas dll), dayak kubing (antara lain desa sungai bakah/sungai mangat,nyanggai,nanga raya dll),dayak limai (antara lain desa tanjung beringin,tain, menukung, ela dll), dayak undau, dayak punan, dayak ranokh/anokh (antara lain sebagian di desa batu buil, sungai raya dll), dayak sebruang (antara lain didesa tanjung rimba, piawas dll),dayak Ot Danum ( masuk kelompok kal-teng), Leboyan dsb. Kemudian Kapuas Hulu diantaranya:Tari Ajat Temuai DataiLatar belakang

"Ajat Temuai Datai" diangkat dari bahasa Dayak Mualang (Ibanic Group), yang tidak dapat diartikan secara langsung, karna terdapat kejanggalan jika di diartikan kata per kata. Tetapi maksudnya adalah Tari menyambut tamu, bertujuan untuk penyambutan tamu yang datang atau tamu agung (diagungkan). Awal lahirnya kesenian ini yakni dari masa pengayauan / masa lampau, diantara kelompok-kelompok suku Dayak. Mengayau, berasal dari kata me – ngayau, yang berarti musuh (bahasa Dayak Iban). Tetapi jika mengayau mengandung pengertian khusus yakni suatu tindakan yang mencari kelompok lainnya (musuh) dengan cara menyerang dan memenggal kepala lawannya.

Pada masyarakat Dayak Mualang dimasa lampau para pahlawan yang pulang dari pengayauan dan menang dan membawa bukti perang berupa kepala manusia, merupakan tamu yang agung serta dianggap sebagai seorang yang mampu menjadi pahlawan bagi kelompoknya. Oleh sebab itu diadakanlah upacara “Ajat Temuai Datai”. Masyarakat Dayak percaya bahwa pada kepala seseorang menyimpan suatu semangat ataupun kekuatan jiwa yang dapat melindungi si empunya dan sukunya. Menurut J, U. Lontaan (Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat 1974), ada empat tujuan dalam mengayau yakni: untuk melindungi pertanian, untuk mendapatkan tambahan daya jiwa, untuk balas dendam, dan sebagai daya tahan berdirinya suatu bangunan.

Setelah mendapatkan hasil dari mengayau, para pahlawan tidak boleh memasuki wilayah kampungnya, tetapi dengan cara memberikan tanda dalam bahasa Dayak Mualang disebut Nyelaing (teriakan khas Dayak) yang berbunyi Heeih !, sebanyak tujuh kali yang berarti pahlawan pulang dan menang dalam pengayauan dan memperoleh kepala lawan yang masih segar. Jika teriakan tersebut hanya tiga kali berarti para pahlawan menang dalam berperang atau mengayau tetapi jatuh korban dipihaknya. Jika hanya sekali berarti para pahlawan tidak mendapatkan apa-apa dan tidak diadakan penyambutan khusus. Setelah memberikan tanda nyelaing, para pengayau mengirimkan utusan untuk menemui pimpinan ataupun kepala sukunya agar mempersiapkan acara penyambutan.

Proses penyambutan ini, melalui tiga babak yakni: Ngiring Temuai (mengiringi tamu ataupun memandu tamu) sampai kedepan Rumah Panjai (rumah panggung yang panjang) proses ngiring temuai ini dilakukan dengan cara menari dan tarian ini dinamakan tari Ajat (penyambutan). Kemudian kepala suku mengunsai beras kuning (menghamburkan beras yang dicampur kunir / beras kuning) dan membacakan pesan atau mantera sebagai syarat mengundang Senggalang burong (burung keramat / burung petuah penyampai pesan kepada Petara atau Tuhannya).

Babak yang kedua yakni mancung buloh (menebaskan mandau atau parang guna memutuskan bambu), berarti bambu sengaja dibentangkan menutupi jalan masuk ke rumah panjai dan para tamu harus menebaskan mandaunya untuk memutuskan bambu tersebut sebagai simbol bebas dari rintangan yang menghalangi perjalanan tamu itu.

Babak yang ketiga adalah Nijak batu (menginjakkan tumitnya menyentuh sebuah batu yang direndam didalam air yang telah dipersiapkan), sebagai simbol kuatnya tekad dan tinginya martabat tamu itu sebagai seorang pahlawan yang disegani. Air pada rendaman batu tersebut diteteskan pada kepala tamu itu sebagai simbol keras dan kuatnya semangat dari batu itu diteladani oleh pahlawan atau tamu yang disambut.

Babak keempat yakni Tama’ Bilik (memasuki rumah panjai), setelah melalui prosesi babak diatas, maka tamu diijinkan naik ke rumah panjang dengan maksud menyucikan diri dalam upacara yang disebut Mulai Burung (mengembalikan semangat perang / mengusir roh jahat).

Dayak Lover



Kamis, 18 November 2010

Isi Pidato Lengkap Obama di Kampus UIDi Indonesia,

Di Indonesia, orang bebas memilih Tuhan yang ingin mereka sembah.

Berikut adalah terjemahan tak resmi dari pidato Presiden Amerika Serikat Barack Obama, yang melawat ke Jakarta, 9-10 November 2010. Pidato yang teks aslinya dalam bahasa Inggris ini disampaikan di Balairung Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Sekitar 7.500 orang, termasuk sejumlah menteri, tokoh politik, pengusaha, cedekiawan dan mahasiswa Indonesia hadir menyimak pidato bersejarah Barack Obama ini.]

*

Terima kasih atas sambutan yang hangat ini. Terima kasih kepada semua penduduk Jakarta. Dan terima kasih bagi seluruh bangsa Indonesia.

Saya senang akhirnya bisa berkunjung ke negeri ini dengan ditemani oleh Michelle. Tahun ini, kami telah dua kali gagal datang ke Indonesia. Namun, saya berkeras untuk menyambangi sebuah negeri yang amat bermakna bagi saya ini. Sayangnya, lawatan ini begitu singkat. Tapi saya berharap bisa datang lagi tahun depan pada saat Indonesia menjadi tuan rumah KTT Asia Timur.Sebelum berbicara lebih jauh, saya ingin menyampaikan bahwa doa dan perhatian kami tertuju kepada para korban bencana tsunami dan gunung meletus baru-baru ini, khususnya bagi mereka yang kehilangan orang tercinta serta tempat tinggal. Amerika Serikat senantiasa ada di sisi pemerintah dan bangsa Indonesia dalam menghadapi bencana alam ini, dan kami akan dengan senang hati menolong semampunya. Sebagaimana tetangga yang mengulurkan tangan kepada tetangganya yang lain, dan banyak keluarga menampung orang-orang yang kehilangan rumah, saya tahu bahwa kekuatan dan ketahanan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia akan sanggup mengangkat kalian keluar dari kesusahan ini.


Saya akan memulai dengan pernyataan sederhana: Indonesia bagian dari diri saya. Pertama kali saya bersentuhan dengan negeri ini adalah ketika ibu saya menikahi seorang pria Indonesia bernama Lolo Soetoro. Sebagai seorang bocah, saya terdampar di sebuah dunia yang berbeda. Namun, orang-orang di sini membuat saya merasa berada di rumah saya sendiri.

Pada masa itu, Jakarta terlihat begitu berbeda. Kota ini disesaki gedung-gedung yang tak begitu tinggi. Hotel Indonesia adalah salah satu bangunan tinggi. Kala itu, ada sebuah pusat perbelanjaan baru bernama Sarinah. Jumlah becak jauh lebih banyak daripada kendaraan bermotor. Dan jalan raya tersisih oleh jalan-jalan kampung tak beraspal.

Kami tinggal di Menteng Dalam, pada sebuah rumah mungil yang halamannya ditumbuhi sebatang pohon mangga. Saya belajar mencintai Indonesia pada saat menerbangkan layang-layang, berlarian di sepanjang pematang sawah, menangkap capung, dan jajan sate atau bakso dari pedagang keliling. Yang paling saya kenangkan adalah orang-orangnya: lelaki dan perempuan sepuh yang menyapa kami dengan senyumnya; anak-anak yang membuat seorang asing seperti saya jadi seperti tetangga; dan guru-guru yang mengajarkan keluasan dunia.

Karena Indonesia terdiri dari ribuan pulau, ratusan bahasa, dan orang-orang dari berbagai daerah dan suku, periode saya tinggal di negeri ini melapangkan jalan bagi saya menghargai kemanusiaan. Walau ayah tiri saya, sebagaimana orang Indonesia umumnya, dibesarkan sebagai seorang Muslim, ia sepenuhnya percaya bahwa semua agama patut dihargai secara setara. Dengan cara itu, ia mencerminkan semangat toleransi keberagamaan yang diabadikan dalam Undang-undang Dasar Indonesia yang tetap menjadi salah satu ciri negeri ini, yang tentunya memberi inspirasi.

Saya tinggal di kota ini selama bertahun-tahun -- sungguh suatu masa yang membentuk masa kecil saya; suatu masa yang menjadi saksi bagi kelahiran adik saya yang manis, Maya; dan suatu masa yang telah memesona ibu saya sehingga ia terus-menerus menghampiri Indonesia 20 tahun kemudian untuk tinggal, bekerja dan bepergian - mengejar hasratnya mendorong terbukanya kesempatan di pedesaan Indonesia khususnya bagi perempuan. Sepanjang hidupnya, negeri ini, beserta orang-orangnya, tetap tersimpan di hati ibu saya.

Begitu banyak yang berubah dalam empat dekade ini sejak saya kembali ke Hawaii. Jika kalian bertanya kepada saya - atau teman sekolah pada masa itu yang mengenal saya - saya yakin tak ada di antara kami yang mampu menyangka bahwa saya akan kembali ke negeri ini sebagai Presiden Amerika Serikat. Dan beberapa orang semestinya bisa meramalkan kisah luar biasa yang melibatkan Indonesia dalam empat dekade terakhir.

Jakarta yang dahulu saya kenal kini telah berkembang menjadi sebuah kota yang dijejali hampir sepuluh juta manusia, gedung-gedung pencakar langit yang membuat Hotel Indonesia terlihat kerdil, serta pusat-pusat kebudayaan dan perdagangan. Dulu saya dan kawan-kawan semasa kanak biasa berkejar-kejaran di lapangan ditemani kerbau dan kambing. Kini, generasi baru Indonesia termasuk dalam golongan paling terhubung dalam jagat komunikasi dunia melalui telepon genggam dan media sosial. Dulu, Indonesia sebagai bangsa yang masih muda berfokus ke dalam. Kini, bangsa ini memainkan peran penting di kawasan Asia-Pasifik dan ekonomi global.

Perubahan ini menjangkau ranah politik. Waktu ayah tiri saya masih kanak, ia menyaksikan ayah dan abangnya pergi berperang dan tewas demi kemerdekaan Indonesia. Saya lega bisa ada di sini tepat ketika Hari Pahlawan untuk mengingat jasa begitu banyak orang Indonesia yang rela berkorban demi negara yang besar ini.

Ketika saya pindah ke Jakarta pada tahun 1967, beberapa daerah di negeri ini baru saja mengalami penderitaan dan konflik yang hebat. Meski ayah tiri saya pernah menjadi seorang tentara, kekerasan dan pembantaian yang terjadi pada masa kekisruhan politik itu tak dapat saya pahami karena keluarga Indonesia dan teman-teman saya memilih bungkam. Di dalam rumah tangga saya, seperti keluarga Indonesia umumnya, peristiwa itu hadir secara sembunyi-sembunyi. Bangsa Indonesia merdeka, tapi rasa takut senantiasa mengikuti.

Pada masa-masa sesudahnya, Indonesia memilih jalurnya sendiri melalui tranformasi demokratis yang luar biasa - dari pemerintahan tangan besi, ke pemerintahan rakyat. Tahun-tahun belakangan, dunia menyaksikan dengan harapan dan rasa kagum usaha bangsa Indonesia merengkuh peralihan kekuasaan dengan jalan damai dan pemilihan kepala negara serta daerah secara langsung. Ketika demokrasi di negeri ini disimbolkan oleh terpilihnya Presiden dan wakil rakyat, ketika itu pula demokrasi dijalankan dan dipelihara melalui kontrol dan keseimbangan (check dan balance): Sebuah masyarakat madani, partai dan serikat politik yang madani; media dan warga negara penuh semangat yang telah yakin bahwa - di dalam Indonesia - tak ada lagi jalan memutar.

Bahkan ketika tanah tempat kemudaan saya pernah berlalu ini telah berubah banyak, hal-hal yang pernah saya pelajari untuk mencintai Indonesia - semangat toleransi yang tercantum dalam Undang-undang Dasar dan terpacak melalui masjid, gereja dan candi, pun tertanam dalam darah bangsa - masih mengalir di tubuh saya. Bhinneka Tunggal Ika - persatuan dalam keragaman. Falsafah itu merupakan pondasi yang dicontohkan Indonesia kepada dunia. Itu sebabnya Indonesia akan memainkan peran penting pada abad ke-21.

Hari ini, saya kembali ke Indonesia sebagai seorang sahabat sekaligus Presiden yang mengharapkan terjalinnya kerja sama erat antar kedua negara. Sebagai negara yang luas dan majemuk, berdamping-dampingan dengan Samudera Pasifik dan, di atas itu semua, demokrasi, Amerika Serikat dan Indonesia ditakdirkan bersama oleh kepentingan dan nilai-nilai yang sama.

Kemarin, Presiden Yudhoyono dan saya menyetujui Kerja Sama Komprehensif yang baru antara Amerika Serikat dan Indonesia. Pemerintahan kedua negara mempererat hubungan di berbagai bidang dan, yang juga penting, memperkuat hubungan antar bangsa. Kerja sama ini tentunya berdasar atas rasa saling membutuhkan dan saling menghormati.

Dengan sisa waktu yang saya miliki hari ini, saya ingin berbagi tentang mengapa kisah yang baru saja saya utarakan begitu penting bagi Amerika Serikat dan dunia. Saya ingin menitikberatkan pembahasan pada tiga hal yang saling berkait-erat serta mendasar bagi kemajuan manusia: Pembangunan, demokrasi dan agama.

Pertama, persahabatan yang terjalin antara Amerika Serikat dan Indonesia dapat memajukan pembangunan yang saling menguntungkan.

Ketika saya hidup di Indonesia, sulit membayangkan sebuah masa depan dimana kemakmuran yang dirasakan oleh banyak keluarga di Chicago dan Jakarta akan berhubungan. Kini, kita ada pada zaman ekonomi global. Bangsa Indonesia telah merasakan risiko dan harapan dari globalisasi: Mulai dari krisis ekonomi Asia yang terjadi pada akhir tahun 1990, dan jutaan orang yang berhasil bangkit dari kemiskinan. Artinya, dan yang akhirnya kita pelajari dari krisis ekonomi barusan, masing-masing dari kita memiliki sumbangsih pada keberhasilan yang diraih pihak lain.

Amerika memiliki sumbangsih terhadap sebagian dari Indonesia yang merasakan kemakmuran, karena tumbuhnya kelas menengah di sini juga berarti timbulnya pasar bagi produk-produk kami seperti juga Amerika merupakan pasar bagi Indonesia. Karena itu, kami menanamkan modal lebih banyak di Indonesia. Ekspor dari Amerika telah naik 50 persen, dan kami membuka pintu bagi pengusaha Amerika dan Indonesia untuk saling berhubungan.

Amerika memiliki sumbangsih terhadap Indonesia, yang memainkan peranannya dalam perekonomian global. Hari-hari ketika tujuh atau delapan negara membentuk kelompok dan menentukan arah perekonomian dunia telah berlalu. Karena itulah saat ini G-20 telah menjadi pusat kerja sama ekonomi internasional: Hal yang memungkinkan negeri seperti Indonesia memiliki suara lebih nyaring dan tanggung jawab lebih besar. Melalui kepemimpinan Indonesia di dalam kelompok G-20 yang memerangi korupsi, negeri ini harus ada di depan pada panggung dunia dengan memberikan contoh baik dalam mempraktikkan transparansi dan akuntabilitas.

Amerika memiliki sumbangsih terhadap Indonesia yang mengejar pembangunan berkelanjutan. Karena cara kita bertumbuh akan mempengaruhi kualitas hidup kita serta kesejahteraan planet yang kita diami. Karena itulah kita mengembangkan teknologi untuk menghasilkan energi bersih yang mampu menopang industri dan menjaga sumber daya alam Indonesia. Amerika menyambut kepemimpinan negeri anda dalam usaha global memerangi perubahan iklim.

Di atas itu semua, Amerika memiliki sumbangsih terhadap keberhasilan manusia Indonesia. Kita harus membangun jembatan yang menghubungkan kedua bangsa karena kita akan berbagi jaminan dan kemakmuran di masa nanti. Itu yang kini sedang kita rintis: Meningkatkan kolaborasi antara ilmuwan dan peneliti kita serta bekerja sama memelihara kewirausahaan. Saya pribadi puas karena kita berhasil meningkatkan jumlah pelajar Amerika dan Indonesia yang meneruskan pendidikan di universitas-universitas yang ada pada kedua negara.

Baru saja saya bicarakan masalah-masalah penting dalam kehidupan kita. Lagipula, pembangunan tak melulu hanya berhubungan dengan tingkat pertumbuhan dan angka-angka dalam neraca. Pembangunan juga menyangkut bagaimana seorang anak mampu mempelajari keahlian yang mereka butuhkan untuk menghadapi dunia yang selalu berubah. Pembangunan berkaitan dengan bagaimana gagasan baik dapat diwujudkan dan tak tercemar dengan korupsi. Pembangunan juga berhubungan dengan bagaiman kekuatan-kekuatan yang telah mengubah Jakarta yang pernah saya kenal - teknologi, perdagangan, arus keluar-masuk orang dan barang - mampu membuat hidup orang jadi lebih baik: Kehidupan uang ditandai dengan martabat dan kesempatan.

Pembangunan semacam itu tak mampu dipisahkan dari demokrasi.

Kini, kita sering mendengar bahwa demokrasi menghalangi pertumbuhan ekonomi. Ini bukanlah alasan baru. Orang akan berkata, khususnya di tengah perubahan dan kondisi ekonomi tak menentu, bahwa pembangunan akan lebih mudah dijalankan dengan mengorbankan hak asasi manusia. Tapi, saya tak melihat itu di India, juga Indonesia. Apa yang kalian telah raih menunjukkan bahwa demokrasi dan pembangunan saling menopang.

Seperti laiknya demokrasi di negara lain, halangan selalu merintangi. Amerika juga mengalaminya. Undang-undang Dasar yang kami miliki menyatakan upaya untuk menempa "penyatuan lebih sempurna." Kami telah menempuh perjalanan untuk meraih itu. Kami melewati Perang Saudara dan berjuang menegakkan hak-hak pribadi warga negara Amerika Serikat. Usaha itu kemudian membuat kami lebih kuat dan sejahtera serta menjadi sebuah masyarakat yang lebih adil dan bebas.

Seperti negara lain yang bangkit dari pemerintahan kolonial di abad lalu, Indonesia berjuang dan berkorban demi memiliki hak menentukan nasib sendiri. Itulah makna Hari Pahlawan sesungguhnya: Sebuah Indonesia yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Tapi, secara bersamaan, kemerdekaan yang telah didapatkan itu tak pula berarti menggantikan kekuatan kolonial dengan kekuatan pemerintahan lokal.

Tentunya, demokrasi morat-marit. Tak semua pihak menyukai hasil akhir suatu pemilihan umum. Kalian semua mengalami segala suka dan duka. Namun, perjalanan itu patut dilewati karena tak hanya melulu mengenai surat suara. Butuh lembaga yang kuat untuk mengontrol pemusatan kekuatan. Butuh pasar terbuka untuk memungkinkan banyak individu maju. Butuh pers dan sistem peradilan yang independen. Butuh masyarakat terbuka dan warga negara yang aktif untuk melawan ketimpangan dan ketidakadilan.

Yang demikian adalah kekuatan yang akan mendorong Indonesia. Korupsi harus dilawan. Komitmen pada keterbukaan, yang memungkinkan tiap warga memiliki sumbangsih terhadap pemerintahannya, mesti ada. Kepercayaan bahwa kemerdekaan yang telah direbut merupakan hal yang tetap menyatukan negeri ini harus ditumbuhkan.

Itu adalah pesan dari manusia Indonesia yang telah memajukan kisah demokratis ini: Dari mereka yang berperang di Surabaya 55 tahun lampau; kepada para mahasiswa yang tergabung dalam demonstrasi tahun 1990an; kepada para pemimpin yang telah berhasil menjalani transisi kekuasaan secara damai pada awal abad ini. Karena, akhirnya, para warga negara memiliki hak untuk menyatukan Nusantara, yang membentang sepanjang Sabang dan Merauke: Sebuah penegasan bahwa setiap bayi yang lahir di negeri ini wajib diperlakukan dengan adil meski mereka berketurunan Jawa, Aceh, Bali atau Papua.

Upaya-upaya semacam itu ditunjukkan Indonesia kepada dunia. Negeri ini berinisiatif membentuk Forum Demokrasi Bali, sebuah forum bagi negara-negara untuk berbagi pengalaman dalam menjaga demokrasi. Indonesia juga telah berusaha menekan ASEAN memperhatikan hak asasi manusia. Bangsa-bangsa di Asia Tenggara berhak menentukan takdirnya sendiri dan Amerika Serikat akan mendukung upaya itu. Namun, warga Asia Tenggara harus pula memiliki hak menentukan nasib mereka sendiri. Itu sebabnya kami mengutuk pemilihan umum di Burma, yang jauh dari kebebasan maupun keadilan. Itu sebabnya kami menyokong masyarakat madani yang penuh semangat di negeri ini. Tidak ada alasan untuk mencegah penegakan hak asasi manusia di manapun.

Itulah pembangunan dan demokrasi - gagasan bahwa ada nilai-nilai yang sifatnya universal. Kemakmuran tanpa kemerdekaan adalah bentuk lain dari kemiskinan. Manusia memiliki cita-cita bersama: Kebebasan untuk tahu bahwa pemimpinmu bertanggung jawab atasmu dan bahwa anda takkan dibui bila memiliki pandangan yang berseberangan dengannya. Anda memiliki kesempatan belajar dan bekerja dengan kemuliaan. Anda bebas menjalankan kepercayaan yang anda anut tanpa takut dikucilkan.

Agama merupakan topik terakhir yang akan saya bicarakan hari ini dan, seperti layaknya demokrasi dan pembangunan, merupakan hal mendasar bagi kisah Indonesia.

Seperti negara Asia lain yang saya kunjungi, Indonesia tenggelam dalam spiritualitas: Sebuah tempat manusia menyembah Tuhan dengan berbagai cara. Sejalan dengan keberagamannya, Indonesia juga negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia - hal yang telah saya ketahui sejak kecil ketika mendengar lantunan azan di Jakarta.

Suatu Individu tak hanya didefinisikan berdasarkan kepercayaannya. Begitu pula Indonesia. Negeri ini tidak hanya ditetapkan berdasarkan penduduk Muslimnya. Kita juga tahu bahwa hubungan antara Amerika Serikat dan masyarakat Islam telah lama rusak. Sebagai Presiden, saya mendahulukan perbaikan atas hubungan yang rusak ini. Salah satu upaya itu adalah kunjungan ke Kairo pada bulan Juni yang lalu dan keinginan untuk memulai lagi hubungan yang baru antara Amerika Serikat dan umat Islam sedunia.

Waktu itu saya bilang, dan akan saya ulangi sekarang, bahwa tak ada satu pidato pun yang dapat menghapuskan tahun-tahun penuh ketidakpercayaan. Tapi waktu itu saya percaya, demikian pula sekarang, bahwa kita punya pilihan. Kita bisa memilih untuk bisa menetapkan diri kita berdasarkan perbedaan-perbedaan yang kita miliki dan menyerah pada masa depan yang penuh kecurigaan dan ketidakpercayaan. Atau kita bisa memilih untuk bekerja keras demi memelihara persamaan hak. Saya berjanji, apapun rintangannya, Amerika Serikat akan berkomitmen memajukan manusia. Itulah kami. Kami telah melakukannya. Kami akan terus menjalankannya.

Kami tahu baik masalah-masalah yang menyebabkan adanya tekanan bertahun-tahun ini. Kami telah menciptakan kemajuan setelah 17 bulan pemerintahan. Tapi, pekerjaan belum selesai.

Banyak warga tak berdosa di Amerika, Indonesia dan belahan dunia lainnya masih menjadi target kaum ekstremis. Saya telah menegaskan bahwa Amerika tidak sedang memerangi, dan takkan terlibat perang dengan, Islam. Namun, kita semua harus menghancurkan Al-Qaeda dan antek-anteknya. Siapapun yang ingin membangun tak boleh bekerja sama dengan teroris. Ini bukanlah tugas Amerika sendiri. Indonesia telah berhasil memerangi para teroris dan aliran garis keras.

Di Afghanistan, kami terus bekerja bersama beberapa negara untuk membantu pemerintah Afghanistan meretas masa depannya. Kepentingan kami di sana adalah memungkinkan terwujudnya perdamaian yang pada akhirnya mampu memunculkan harapan bagi negeri itu.

Kami juga telah mencatat kemajuan dalam salah satu komitmen utama kami: Upaya mengakhiri perang di Irak. 100 ribu tentara Amerika telah meninggalkan negeri itu. Penduduk Irak telah memiliki tanggung jawab penuh atas keamanan mereka. Kami terus mendukung Irak dalam prosesnya membentuk pemerintahan yang inklusif. Kami juga akan memulangkan seluruh tentara AS.

Di Timur Tengah, kami telah menghadapi permulaan yang gagal serta halangan. Namun, kami juga terus menjaga upaya merengkuh perdamaian. Bangsa Israel dan Palestina memulai kembali perundingan. Namun, masih ada masalah besar di sana. Ilusi bahwa kedamaian dan keamanan akan datang dengan mudah tak boleh muncul. Tapi, singkirkanlah keragu-raguan: Kami takkan menyia-nyiakan kesempatan untuk memperoleh hasil yang adil bagi semua pihak yang bertikai: Dua negara, Israel dan Palestina, hidup berdampingan secara damai dan sentosa.

Penyelesaian atas masalah-masalah itu memiliki taruhan yang besar. Dunia yang kita huni telah menjadi kian kecil. Sementara kekuatan-kekuatan yang menghubungkan kita membuka kesempatan, kekuatan-kekuatan itu juga menyokong pihak yang ingin menghambat kemajuan. Sebuah bom di tengah pasar melumpuhkan kegiatan jual-beli. Sepotong gosip dapat mengaburkan kebenaran dan memicu kekerasan di tengah masyarakat yang sebelumnya hidup rukun. Di zaman ini, ketika perubahan begitu cepat dan berbagai budaya berbenturan, apa yang kita bagikan sebagai manusia dapat musnah.

Saya percaya bahwa sejarah Indonesia dan Amerika mampu memberikan kita harapan. Kisah keduanya tertulis dalam semboyan yang dimiliki oleh negara kita masing-masing. E pluribus unum - beragam tapi bersatu. Bhinneka Tunggal Ika - persatuan dalam keberagaman. Kita dua bangsa yang mengambil jalan masing-masing. Namun kedua negara ini menunjukkan bahwa ratusan juta orang yang memiliki kepercayaan berbeda mampu bersatu dengan merdeka di bawah satu bendera. Dan kita sekarang membangun kemanusiaan melalui anak-anak muda yang akan melalui pendidikan di sekolah masing-masing; melalui wirausahawan yang saling berhubungan demi meraih kemakmuran; dan melalui upaya kita memeluk nilai-nilai demokrasi serta cita-cita manusiawi.

Tadi saya mampir ke Masjid Istiqlal. Rumah ibadah itu masih dalam pengerjaan ketika saya tinggal di Jakarta. Saya mengagumi menaranya yang menjulang, kubah yang megah, serta tempatnya yang lapang. Namun, nama serta sejarahnya juga menjadi saksi kebesaran Indonesia. Istiqlal maknanya kemerdekaan. Bangunan itu sebagiannya merupakan wasiat perjuangan sebuah bangsa menuju kemerdekaan. Terlebih lagi, masjid itu dibangun oleh seorang arsitek Kristen.

Itulah semangat Indonesia. Itulah pesan yang diimbuhkan dalam Pancasila. Di sebuah negeri kepulauan yang berisi beberapa ciptaan Tuhan yang paling elok, pulau-pulau yang menyembul dari samudera, orang bebas memilih Tuhan yang ingin mereka sembah. Islam berkembang, begitu pula ajaran lain. Pembangunan diperkuat oleh demokrasi yang sedang berkembang. Tradisi purba terpelihara meski sebuah kekuatan sedang lahir.

Tapi bukan berarti Indonesia negeri sempurna. Tak ada satu negeri pun yang bisa. Tapi di sini ras, wilayah, dan agama yang berbeda mampu dijembatani. Sebagai seorang bocah yang berasal dari suatu ras dan datang dari sebuah negeri yang jauh, saya menemukan semangat untuk melihat diri sebagai seorang individu dalam ucapan "Selamat Datang". Sebagai seorang pemeluk Kristiani yang mengunjungi masjid, saya mengutip pendapat seseorang yang ditanyai tentang kunjungan saya: "Orang Islam juga boleh masuk gereja. Kita semua adalah umat Tuhan."

Ungkapan itu mencetuskan gagasan bahwa sifat ketuhanan ada di dalam diri kita. Kita tak boleh menyerah pada penyangkalan atau sinisisme atau keputusasaan. Kisah yang melibatkan Indonesia dan Amerika menunjukkan kepada kita bahwa sejarah mengikuti perkembangan manusia; bahwa persatuan lebih kuat daripada perpecahan; dan bahwa warga dunia dapat hidup dengan damai. Semoga kedua negeri kita dapat terus bekerja sama, dengan kepercayaan dan determinasi, menyebarkan kebenaran-kebenaran ini dengan seluruh manusia. *

Sumber : Stefanus Teddy Valentino

Jumat, 15 Oktober 2010

Sejarah suku dayak dkalimantan

Sedikit menambahkan tentang sejarah suku dayak di Kalimantan :

I. Latar Belakang Sejak lebih dari 1500 tahun yang lalu kehidupan nenek moyang masyarakat Dayak yang datang ke Pulau Kalimantan merupakan masyarakat yang telah memiliki budaya yang tinggi. Namun dalam perkembangan di tanah yang baru (Kalimantan Sekarang) kebudayaan mereka tidak berkembang bahkan cenderung mengalami kemunduran. Dalam kurun waktu sebelum \"Perdamaian Tumbang Anoi\" pada tahun 1984 masyarakat Dayak bermukim berpisah-pisah di perkampungan-perkampungan yang yang tersebar di sepanjang tepi sungai. Sesuai dengan kebutuhannya untuk tempat tinggal di bangun rumah panjang yang disebut \"Betang\" dan menampung seluruh keluarga yang menjadi warga \"Betang\" tersebut. Apabila di perkampungan di rasakan sebuah Betang sudah tidak mencukupi , maka atas mufakat bersama dibangun Betang baru. Betang sebagai tempat hunian bersama di wilayah pedalaman Kalimantan, masih bertahan sampai menjelang akhir abad ke XIX. II. Kedatangan dan Penyebarannya Berdasarkan laporan para ahli antropologi, sesungguhnya Suku Bangsa Dayak yang mendiami Pulau Kalimanatan (dahulu disebut pulau Borneo) bukan benar-benar penduduk asli. Penduduk asli pulau Borneo yang pertama dengan ciri-ciri physik rambut hitam keriting, kulit hitam, hidung pesek dan tinggi badan rata-rata 120 - 130 cm. Mereka di golongkan ke dalam Suku Bangsa Negrito sebagaimana yang masih terdapat sisa-sisanya dalam kelompok kecil di Malaysia Bagian Utara. Di Pulau Kalimantan (Borneo) Kelompok Suku Bangsa Negrito ini di duga telah musnah setelah datangnya suku bangsa baru yang ber-imigrasi dari Benua Asia Sebelah Timur yaitu cina. Menurut para ahli Ethonologi, di Asia pada awal-awal Abad Masehi, pernah terjadi 2 (dua) kali perpindahan bangsa-bangsa. Perpindahan bangsa-bangsa yang pertama terjadi pada abad ke - II yang oleh beberapa ahli disebut proto-melayu dan yang kedua terjadi pada abad ke - IV di sebut Deutero-Melayu. Menurut H.TH. Fisher, migrasi dari asia terjadi pada fase pertama zaman Tretier. Saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan Muller-Schwaner. Dari pegungungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku Bangsa yang datang dan akhirnya mendiami Pulau Kalimantan (Borneo) sebagian besar datang pada perpindahan bangsa-bangsa yang kedua yaitu abad ke -IV tersebut. Terjadinya perpindahan bangsa-bangsa tersebut dilakukan untuk menghindar dari kekejaman Suku Bangsa Tar-Tar dari utara yang terjadi sejak jaman Jengis Khan. Kelompok bangsa-bangsa yang berpindah itulah yang menjadi cikal bakal terbentuknya bangsa baru seperti Bangsa Jepang, Taiwan, Philipina dan sebagian Suku bangsa di Indonesia antara lain Suku bangsa di Manado/Gorontalo/Toraja di Sulawesi; Suku-suku di Riau Kepulauan, Suku Batak/Suku Nias di Sumatera; serta Suku Dayak di Pulau kalimantan (Borneo) kalau demikian timbul pertanyaan : a. Termasuk Rumpun bangsa manakah orang/Suku Dayak Itu? b. Dari manakah mereka berasal? c. Mengapa mereka di sebut orang Dayak ? Sebagai mana di kemukan sebelumnya, nenek monyang orang/suku Dayak adalah imigran bangsa China dari wulayah pegunungan Yunan di Cina Selatan berbatasan dengan Vietnam sekarang. Kelompok migran yang masuk wilayah Kalimantan Tengah sekarang dan menjadi nenek moyang bagi sebagian besar orang/suku Dayak di kalimantan Tengah merupakan bagian dari perpindahan bangsa-bangsa ke-2 pada abad ke-IV. Diduga mereka masuk ke Kalimantan Tengah melalui sedikitnya 3 koridor yaitu: a. Koridor dari Kalimantan Barat menyusuri sungai Kapuas sehingga akhirnya menyeberangi/melintas Pegunungan Schwaner. b. Koridor I dari Kalimantan Timur melalui Kabupaten Kutai Barat Sekarang. c. Koridor II dari kalimantan Timur melalui Kabupaten Pasir Sekarang. Berdasar legenda dan cerita dari para pendahulu. nenek moyang orang/suku Dayak yang mendiami Kalimantan Tengah sama sekali tidak ada kelompok yang masuk di muara-muara sungai di sebelah selatan wilayah Kalimantan tengah yaitu dari Laut Jawa. Seluruhnya masuk kewilayah kalimantan Tengah sekarang adalah melalui bagian Utara dan Timur. Dalam puisi \"TETEK TATUM\" dosebutkan bahwa nenek moyang orang Dayak berasal dari Kerajaan Langit, diturunkan dengan \"Palangka Bulau\" di 1). Tatan Puruk Pamatua, 2). Tatan Liang Mangan Puruk Kaminting dan 3). Puruk Kambang Tanah Siang. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud \"Kerajaan Langit\" jelas menunjukan kepada kerajaan-kerajaan di Cina pada waktu itu. Menurut legenda, nenek moyang orang Dayak berasal dari kerajaan yang terletak di lembah pegunungan Yunan bagian Selatan di Cina Barat laut berbatasan dengan Vietnam sekarang. Raja tersebut bergelar THA WONG yang berarti Raja Besar. Hal ini disebut-sebut dalam puisi \"TETEK TATUM\" dengan sedikit perubahan dari THA WONG menjadi \"TAHAWONG\". Oleh karena itu tidak mengherankan jikalau di kalangan Suku Dayak ada beberapa keluarga dalam memberikan nama bagi anak laki-laki yang lahir di keluarga yang lahir dikeluarganya dengan nama antara lain; Tahawong, Sahawong, Sawong, Tewong. Siwong. Salah satu kelompok migran dari THA WONG tersebut masuk ke Kalimantan Tengah sekarang diduga melalui Kalimantan Barat, dengan menyusuri Sungai Kapuas. Dalam pencarian tempat pemukiman baru yang aman akhirnya kelompok tersbut menyeberani Pegunungan Schwaner. Pemukiman pertama diduga dibangun dihulu anak-anak sungai Katingan antara lain hulu Sungai Baraoi anak Sungai Samba yang terkenal dengan nama \"DATAH OTAP\". Sehingga saat ini ditempat itu masih terdapat puing - puing Betang yang sangat besar. Betang tersebut pada masanya dipastikan sangat kokoh. Tiang-tiang Betang dibuat dari kayu ulin yang berdiameter antara 60-70 cm. Tiang-tiang betang ini lah diduga dimulai penyebaran kelompok-kelompok kecil kesebagian besar wilayah Kalimantan Tengah. Salah satu kelompok kecil yang dipimpin oleh \"ONGKO KALANGKANG\" pindah kearah Timur dan akhirnya menetap di hulu Sungai Kahayan, yaitu di Desa Tumbang Mahuroi sekarang. Warga Suku Dayak Ngaju mengakui bahwa ONGKO KELANGKANG adalah moyang mereka dan merupakan cikal bakal adanya Suku Dayak Ngaju. Dalam Bahasa Ngaju, kata Ongko berarti orang tua, persis sama arti dalam bahasa Cina. Kata kalangkang merupakan pertautan 3 (tiga) kata yaitu : Ka (atau Kho) - Lang dan Kang. Migrasi Ongko Kalangkang ke hulu Sungai kahayan (Tumbang Mahuroi) disertai oleh 7 (tujuh) keluarga anak-menantunya. Atas kesepakatan bersama, maka ke-7 keluarga anak-menantunya tersebut menyebar mencari tempat-tempat pemukiman baru dengan cara menyisir sungai Kahayan kearah hilir (Selatan). Dengan menggunakan rakit-rakit yang dibuat dari bambu dan kayu, rombongan ke-7 keluarga tersebut melakukan perjalan untuk mencari tempat-tempat pemukiman baru yang cocok. Dengan demikian di sepanjang Sungai Kahayan akhirnya terbangun 8 (delapan) perkampungan asal yang merupakan kampung generasi pertama, yaitu : 1. Tumbang Mahuroi (Ongko Kelangkang) 2. Tumbang Pajangei (anak laki-laki) 3. Tampang (anak laki-laki) 4. Sepang Simin (anak laki-laki) 5. Bawan (anak perempuan) 6. Pahawan (anak Perempuan) 7. Bukit Rawi (anak perempuan) 8. Pangkoh (anak perempuan) Yang masih menjadi perdebatan apakah yang dimaksud dengan Dayak? Ini dikarenakan suku-suku yang mendiami Pulau Borneo (Kalimantan) secara umum di sebut Suku Dayak. Yang dimaksud dengan Dayak adalah Sungai. Kata Dayak yang artinya sungai tersebut terdapat pada salah satu anak suku Benuaq di Kalimantan Timur serta bahasa suku (lokal) di Kalimantan barat dan Serawak. Pada awal abad ke - XIX seorang ilmuwan barat sekaligus Missionaris telah melakukan perjalanan panjang selama bertahun-tahun untuk suatu penelitian tentang suku bangsa dan budaya penduduk yang mendiami pulau Borneo. Pada saat itu sungai merupakan satu-satunya prasarana perhubungan dari satu kampung ke kampung lainnya. Disetiap aliran sungai ilmuwan tersebut menyusuri sungai dengan menggunakan perahu yang oleh tenaga upahan dari penduduk setempat. Apabila sampai pada suatu kampung, ia bertanya kepada pengantarnya (guide) tentang nama kampung dan suku bangsa apa yang mendiami tempat itu. namun sampai berakhirnya seluruh perjalanan penelitian tersebut, ternyata bahwa semua suku bangsa yang di temuinya belum mempunyai nama. Oleh karena itulah didalam tulisan akhirnya ilmuwan tersebut menyimpulkan bahwa suku bangsa yang mendiami pulau Borneo diberikannya nama Suku bangsa Dayak yang artinya suku bangsa yang bermukim di sepanjang tepi sungai. (Sumber Buku Adat Istiadat Dayak Ngaju terbitan LSM Pusat Budaya Betang Kalimantan Tengah (LSM PBBKT) Tahun 2003). 

Senin, 04 Oktober 2010

Potret Inkulturasi di Kalangan Dayak-Kalimantan Barat

Tionghoa dalam Dayak : Potret Inkulturasinya di kalangan Dayak, Kalimantan Barat

Orang Dayak memanggilnya “sobat” (sahabat), mereka memanggil Orang Dayak “darat”, kadang-kadang dipanggilnya juga dengan sebutan laci. Laci artinya anak keturunan. La = anak, Ci = orang atau keturunan. Anak hasil perkawinan Dayak dengan Cina disebut Pantokng dan sebaliknya anak hasil perkawinan Cina dengan Dayak dikenal sebagai Pantongla.

Tulisan ini hanya memotret singkat dalam konteks sejarah, bagaimana relasi Dayak dan Cina yang hampir sempurna, khususnya kenapa Orang Dayak memanggil Orang Cina “sobat”, sebuah tata nilai budaya yang sedemikian sempurna, sebagai perwujudan dari nilai-nilai hidup yang dijaga dan dikembangkan selama ini.

Cina Dalam Dayak; Potret Inkulturasinya
Kata La Ci seringkali diplesetkan orang luar untuk mempengaruhi relasi Dayak dengan Cina. Menurut Acui (2005), merujuk pada kata La Ci, mungkin mereka mengakui secara “implisit” bahwa Dayak adalah keturunan dari kelompok imigran yang telah datang masa 3000-1500 Sebelum Masehi. Panggilan “sobat” Orang Dayak kepada Orang Cina diatas bukanlah tanpa alas an. Dalam tradisi yang sangat sakral, misalnya dalam mitologi religiousnya, seorang tokoh Cina merupakan salah satu tokoh penting yang sangat dihormati bahkan diakui sebagai leluhur Orang Dayak. Disebutkan, ada 5 orang tokoh, yang mencipta adat: Ne Unte’ Pamuka’ Kalimantatn, Ne Bancina ka Tanyukng Bunga, Ne Sali ka Sabakal, Ne Onton ka Babao, dan Ne Sarukng ka Sampuro. Menurut pengakuan Singa Ajan (94 tahun, seorang Singa/Timanggong, tinggal di kampong Rees-Menjalin-Landak), Ne Bancina adalah leluhur Orang Cina, beliau tinggal di sebuah tanjung, yang bernama tanjung bunga, daerah pasir panjang-Singkawang sekarang ini.

Sebagaimana sejarahnya, Dayak adalah merupakan keturunan Bangsa Weddoid dan Negrito (Coomans,1987). Orang Negrito dan Weddoid telah ada di Kalimantan sejak tahun 8.000 SM. Mereka tinggal didalam gua dan mata pencaharian mereka berburu binatang. Kelompok ini menggunakan batu sebagai alat berburu dan meramu. Warisan Weddoide yang masih bertahan hingga hari ini dan melekat pada sebagian kecil Orang Dayak adalah menjadikan hewan anjing sebagai hewan sembelih dan kurban pada jubata (Tuhan). Ini terjadi karena pada waktu itu banyak anjing hutan yang liar yang hidup di daerah ini. Binatang ini menjadi hewan buruan yang mudah bagi kaum Weddoide yang masih memiliki peralatan dari batu. Namun, kelompok ini sekarang telah lenyap sama sekali, setelah kedatangan imigran baru yang dikenal sebagai Bangsa Proto Melayu atau Melayu Tua (Wojowasito, 1957). Proto Melayu merupakan imigran kedua yang datang sekitar tahun 3000-1500 SM. Menurut Asmah Haji Omar http://www.amazon.co.uk), peradaban kelompok ini lebih baik dari Negrito, mereka telah pandai membuat alat bercocok tanam, membuat barang pecah belah dan alat-alat perhiasan. Gorys Keraf (1984) mengatakan bahwa, kelompok imigran ini juga telah mengenal logam, sehingga alat perburuan dan pertanian sudah menggunakan besi.

Emas merupakan penyebab terjadinya salah satu migrasi utama Orang Cina ke Kalbar pada akhir abad ke-18 (Jackson,1970). Dari catatan sejarah, tahun 1745, 20 orang Cina didatangkan dari Brunei oleh Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah untuk bekerja pada pertambangan emas, utamanya di Mandor (wilayah Mempawah) dan di Monterado (Sambas). Hasil emas mencapai puncaknya antara tahun 1790 dan 1820. Pada tahun 1810, produksi emas dari Kalbar melebihi 350.000 troy ons, dengan nilai lebih dari 3,7 juta dollar Spanyol (Raffles, 1817). Keberhasilan pertambangan emas ini, menyebabkan Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah terus mendatangkan Orang Cina, hingga pada tahun 1770 orang Cina sudah mencapai 20.000 orang. Menghindari perkelahian sesama perantauan setali sedarah, Lo Fong Fak, pimpinan sebuah kongsi di Mandor menyatukan 14 kongsi yang tersebar dan mendirikan sebuah pemerintahan “republic” Lan Fang pada tahun 1777. Republic ini berkuasa selama 108 tahun, 1777 - 1884. Pada masa Presiden Lan Fang ke-10, Presiden Liu Konsin yang berkuasa sejak 1845-1848, Republik ini pernah melakukan pertempuran dengan Orang Dayak didaerah Mandor, Lamoanak, Lumut, dan sekitarnya, hasilnya Orang Dayak kalah dan sebagian kecil memilih bermigrasi kehilir Sungai Mandor, hingga akhirnya membentuk pemukiman diwilayah Kesultanan Pontianak. Mereka inilah yang menjadi leluhur Orang Dayak di Sei Ambawang. Perang ini dikenal sebagai “Perang Lamoanak”.

Sebagaimana bangsa lainnya, Orang Dayak sudah mengenal tradisi pertanian sebagai mata pencaharian. Dalam mitologinya, sebelum padi dikenal, mereka meramu dan mengumpulkan sagu liar (eugeissona utilis). Sagu liar ini banyak tumbuh ditanah-tanah lembab, dikenal dengan nama rawa-rawa. Mereka mengambil pati dari sagu ini, lalu memelihara tumbuhan sagu, seperti sekarang dilakukan oleh orang Ambawang, Kubu Raya. Untuk mencampur sagu ini, mereka juga mengumpulkan dan memetik “kulat karakng” (sejenis jamur) sebagai makanan pokok kedua.

Karena hasil emas mulai berkurang pada tahun 1820-an dan terus menurun dalam dua dasawarsa berikutnya semakin banyak orang Cina diwilayah Republik Lan Fang yang beralih keperdagangan dan pertanian dengan menanam padi, sayuran dan beternak babi. Hal ini sesuai dengan penelitian Jessup, bahwa tradisi pertanian, khususnya tanaman padi Orang Dayak setidaknya telah dilakukan sejak tahun 1820-an (Jessup, 1981) . Tanaman padi mungkin dibawa oleh imigran Cina ini (Bellwodd;1985). Bellwodd mencatat, padi liar dan padi-padian lain telah dibudidayakan dipunggung Daerah Aliran Sungai Yangtze yaitu dilahan-lahan basah musiman disebelah selatan Propinsi Kwang Tung, Fuk Chian, Yun Nan dan Kwang Sie. Hal ini cocok dengan sebuah tulisan (Asali;2005;3), yang menjelaskan bahwa imigran Cina yang datang ke Kalbar umumnya dari bagian selatan China, khususnya dari Propinsi Kwang Tung, Fuk Chian, Yun Nan, dan Kwang Sie. Orang Dayak kemudian berubah dari masyarakat pengumpul sagu liar menjadi masyarakat yang aktiv menanam padi (Ave, J.B., King, V.T, 1986) dan menyelenggarakan siklus pertanian yang sarat ritual (Atok;2003;19). Padi pertama yang ditanam dikenal dengan nama padi antamu’. Oleh Petani Dayak, hingga sekarang jenis padi ini selalu ditanam, istilahnya “Ngidupatn Banih” (melestarikan benih). Jika merunut sejarah tanaman padi ini, tidaklah mengherankan kalau dalam prosesi perladangan Dayak, dalam siklus tertentu dan keadaan tertentu pula, nyaris mengikuti kalender Cina. Penanggalan Cina amat berpengaruh dalam tradisi perladangan Dayak, hingga hari ini.

Pola pertanian dilahan basah, diyakini juga sebagai warisan Orang Cina di Kalimantan Barat. orang Dayak mengenalnya dengan istilah Papuk/ Gente’/Bancah (sawah). Budaya pertanian ini dibawa kelompok migrasi terakhir dari Propinsi Yun Nan terjadi tahun 1921-1929, ketika di Tiongkok (Cina) terjadi perang saudara. Saat ini, diberbagai tempat kita masih menjumpai nama sawah berasal dari kata Cina. Di Kampung Nangka, 102 Km dari Pontianak, kita dengan mudah mendapatkan nama tempat berasal dari Cina; Ju Tet, Kubita, Pahui, dll. Ini sekaligus bukti, bahwa pencetakan sawah awalnya diperkenalkan mereka. Latar belakang kelompok imigran baru ini memang kebanyakan petani Orang Hakka.

Selain itu, sejak tahun 1880, orang Cina juga mulai membuka perkebunan lada, gambir dan setelah tahun 1910 memulai perkebunan karet (Hevea brasiliensis;Euphorbiaceae) (lihat Dove,R.Michael;1988) . Acong (70 tahun), warga Sei Nyirih Selakau-Sambas, menceritakan pada saya bahwa pernah ada sebuah perusahaan besar “KAHIN”, milik Tjiap Sin. Perusahaan ini berdagang gambir, cengkeh, kopra dan lada, dijualnya ke Singapura. Ia memiliki kapal layar besar. Untuk ke Singapura, mereka hanya membutuhkan waktu sekitar 3 hari dari Selakau. Seiring menipisnya hasil Gambir, Cengkeh, Lada dan Kopra, pada tahun 1958, perusahaan ini tutup.

Pembauran Orang Dayak dengan Orang Cina yang terjadi sejak berabad-abad silam, menurunkan perilaku kebudayaan unik, khususnya peralatan adat istiadat dan hokum adat dalam budaya Dayak. Hari ini, masih dapat kita lihat dari alat-alat peraga adat (dan hukum adat) yang menggunakan keramik-keramik Cina. Pengaruh ini mungkin hasil dari perdagangan dan hubungan diplomasi mereka dengan bangsa Cina yang sempat tercatat dalam sejarah dinasti Cina dari abad ke-7 sampai abad ke-16. Pedagang Cina menukar keramik, guci anggur dan uang logam dengan hasil-hasil hutan yang dikumpulkan Orang Dayak seperti kayu gaharu, gading burung rangok (enggang), serta sarang burung walet. Pedagang dari Siam juga membawa guci-guci yang terbuat dari batu yang masih banyak digunaan Orang Dayak untuk mas kawin dan untuk upacara penguburan (Fridolin Ukur;1992).

Uniknya, pada peristiwa “demonstrasi” yang berlangsung sekitar 2 bulan, dari Oktober hingga November 1967, satu titik waktu dimana rezim Orde Lama beralih ke Orde Baru, Orang Dayak menyebarkan ”Mangkok Merah” sebagai media komunikasinya, untuk ”penghukuman sosial” terhadap Cina dipedalaman yang ditengarai berafiliasi dengan gerombolan PGRS/Paraku yang berideologi komunis. Ratusan ribu Orang Cina harus rela meninggalkan kampung-kampung dipedalaman, dimana sejak ratusan tahun mereka telah berinteraksi positif dengan Orang Dayak.

Tidak cuma itu, istilah keseharian dalam bahasa Cina dengan mudah kita temui dikalangan Orang Dayak. Di Kampung Rees, misalnya hampir semua proses pesta (baik pesta padi, perkawinan, sunatan, dll) istilah-istilah ini muncul. Dari menentukan waktu pesta (penanggalan Cina; ari segol, dll), nama tempat (tapsong, teosong,dll), nama alat (ten, teokang, dll), jenis masakan (saunyuk, tunyuk, dll) hingga prosesi makan (concok). Bahkan,alat-alat pesta maupun alat peraga adat (dan hokum adat) juga menggunakan prototive yang berasal dari Cina, misalnya; tempayan (tapayatn jampa, siam, manyanyi, batu, dll), mangkuk (mangkok), piring (pingatn), sendok (teokang), nampan (pahar), dll.

Dalam tradisi minuman, Cina dalam Dayak juga dapat kita lihat dari tradisi minuman keras, khususnya jenis arak. Sebelumnya Orang Dayak hanya mengenal tuak, yang terbuat dari saripati tanaman aren. Di Cina, minum arak sudah menjadi budaya yang tak terpisahkan. Oleh karena itu kita mengenal dewa mabuk dalam cerita-cerita kungfu. Arak, selain untuk meramu obat tradisional Cina, yang dikenal sebagai “tajok/pujok” oleh Orang Dayak juga sebagai bahan penyedap. Kini, arak telah menjadi bagian sehari-hari bagi kehidupan Orang Dayak.

Tak cuma itu, Cina dalam Dayak juga dapat dilihat dari persenjataan, khususnya pembuatan senjata api “senjata lantak” sebagai alat berburu dari Orang Cina. Bubuk mesiu ditemukan oleh ahli ahli kimia Cina pada abad ke-9 ketika sedang mencoba membuat ramuan kehidupan abadi. Bubuk mesiu ini dibawa tentara Cina yang menetap di Kalimantan setelah tujuan mereka menghukum Raja Kertanegara. Banyak bukti bahwa penggunaannya dengan belerang banyak dipakai sebagai obat (Wayne Cocroft; 2000). Sebelum mengenal senjata lantak dan mesiu, senjata untuk berburu dikalangan Orang Dayak masih berupa tombak dan sumpit. Tidak cuma itu, “judi” juga diperkenalkan kelompok etnik ini kepada Orang Dayak. Beragam jenis judi; Liong Fu, Te Fo, Kolok-Kolok, Sung Fu, dan lain-lain sangat digemari Orang Dayak hingga hari ini. Disetiap pesta, keramaian, warung/toko, dengan mudah ita menjumpai jenis-jenis permainan judi ini.

Dan bahkan, kegigihan Orang Cina dalam politik juga menjadi inspirasi bagi Orang Dayak. Sejak tahun 1941, mereka mulai mengembangkan diri dalam perjuangan politik. Sebagaimana diketahui, umumya kelompok Cina di Kalimantan Barat berasal dari Orang Hakka yang sangat terkenal keuletannya.Orang Hakka lebih independent-minded (berpikiran bebas), lebih mudah melepaskan diri dari tradisi dan menangkap idea baru untuk hidup. Tidak heran, orang Hakka adalah termasuk orang tionghoa yang cepat mengadopsi ide-ide Barat dibanding dengan yang lain dan mengkombinasikannya dengan budaya Hakka. Dan tekanan kepahitan hidup yang mereka rasakan menjadikan mereka lebih mudah menjadi kaum revolusioner, lebih progresif, dan lebih berani maju untuk menuntut pembaharuan, dan banyak pelopor-pelopor pembaharuan Cina modern berasal dari Hakka. Fleksibilitas orang Hakka dalam menyerap ide-ide baru, tidak bersikeras untuk mempertahankan tradisi lama yang menghambat, menjadikan Hakka sebagai etnis yang unik dalam sejarah China modern. Bukan kebetulan, kalau pemberontakan terbesar di China pada abad ke-19 yang melibatkan puluhan juta manusia, dan termasuk pemberontakan paling berdarah dalam sejarah kemanusiaan didunia, dimotori oleh orang Hakka. Literasi sejarah inilah yang kemudian disambung Orang Hakka di Kalimantan Barat dengan mendirikan sebuah Negara “republic” Lan Fang tahun 1777-1884. Selama Kolonial Belanda, republic ini pernah 2 kali berperang dengan Belanda, yakni tahun 1854-1856 dan tahun 1914-1916. Perang itu dinamakan “Perang Kenceng” oleh masyarakat Kalbar.

Sikap revolusioner Orang Cina juga muncul ketika Jepang menduduki Pontianak tahun 1941. Sekelompok Cina mendirikan organisasi bawah tanah dan menyiapkan diri untuk perang terbuka, namun niat ini menjadi hilang ketika hadir ”tragedi mandor”, sebuah pembunuhan massal oleh Jepang di Mandor, bekas ibukota Republik Lan Fang. Orang Cina kehilangan banyak sumberdaya manusia yang berkualitas dan mampu secara ekonomi. Dan karena sikap yang cenderung bersahabat dengan Orang Dayak, melalui Partai Persatuan Daya (PD), membuat sebagian elit Orang Cina yang lolos dari ”penyungkupan” berhasil mengkonsolidasi kekuatan politiknya, dan pada pemilu 1955 dan pemilu 1958, kelompok ini menang. Hal ini kemudian mengantarkan JC.Oevaang Oeray, tokoh Dayak asal Hulu Kapuas menjadi Gubernur Kalimantan Barat dan berhasil menempatkan dirinya sebagai refresentasi kelompok etnik yang berkuasa selama delapan (8) tahun. Dipergantian rezim Orde Lama ke rezim Orde Baru, hubungan Cina-Dayak terganggu dengan munculnya peristiwa “demonstrasi”, persahabatan sirna dan akibatnya puluhan ribu orang Cina harus rela “keluar” dari teritori Dayak dan mengkonsentrasikan diri di kawasan pesisir, yang selama ini menjadi teritori “Melayu”. Empat puluh satu tahun (41 tahun) terabaikan, dipenghujung tahun 2007, konsolidasi politik Orang Cina dan Orang Dayak menemukan klimaksnya, mereka kembali menempatkan dirinya sebagai refresentasi kelompok etnik yang berkuasa di Kalimantan Barat.

Penutup
Jika merujuk pada fakta budaya pada kelompok etnik Dayak Mampawah diatas, bagi saya, kemungkinan besar budaya Dayak sekarang ini merupakan hasil inkulturasi budaya Cina, walaupun kenyataannya menjadi budaya yang diakui sebagai tradisi Dayak. Mungkin saja, contoh diatas hanyalah contoh kecil dari inkulturasi Cina dalam Dayak. Saya memahami bahwa kebudayaan itu selalu bersifat dinamis, namun fakta bahwa tatanan social dan tradisi Dayak telah berinkulturasi secara tajam dan dalam dengan budaya Cina. Cina benar-benar telah masuk dalam diri Dayak, diberbagai bidang kehidupan, hingga hari ini.
________________
Tulisan ini disampaikan pada Kongres Kebudayaan Kalimantan Barat, Pontianak, 25-27 Agustus 2008. Penulis adalah Ketua Palma Institute, mahasiswa Magister Ilmu Sosial Universitas Tanjungpura Pontianak.

Tionghoa, Dayak - Madura

James Danandjaja Guru Besar Antropologi dan Folklor FISIPUI Akibat gerakan reformasi yang kebablasan, orang kehilangan arah. Para aparat negara yang selama ini dapat meredam semua kerusuhan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) menjadi kebingungan dan kehilangan pegangan. Mereka tidak berani bertindak tegas, karena takut dituduh melanggar hak asasi manusia. Beberapa suku bangsa menuntut untuk merdeka. Rasa senasib dan sepenanggungan sebagai suatu bangsa yang selama ini berhasil dipelihara makin pudar. Pada kerusuhan Mei tahun lalu, orang mempunyai prasangka buruk berdasarkan stereotip terhadap suku bangsa yang mereka golongkan sebagai ''nonpri", mereka tidak terusik hati nuraninya, karena menganggap bahwa perlakuan itu setimpal. Para suku bangsa nonpri itu patut dihukum, karena mereka itu rakus, materialistis, suka hidup eksklusif, dan sebagainya, seperti lakunya Edi Tansil dan Liem Sioe Liong. Sedihnya, kedua tokoh itu, di luar persetujuan suku bangsa Cina, tiba-tiba dijadikan Kapitein de Chinesen, sehingga perilaku buruk mereka harus ditanggung bersama oleh suku bangsa Tionghoa di seluruh Indonesia. Namun, kemudian orang terhentak sewaktu terjadi konflik antar-suku bangsa yang tergolong ''pribumi", seperti yang terjadi di Jalan Ketapang Jakarta Barat (antara orang Ambon dan orang Betawi), di Kupang, Ambon, dan itu belum selesai sudah disambung lagi dengan konflik di Kalimantan Barat (antara orang Dayak dan Madura). Jadi, penjelasannya menjadi rumit, apalagi menyelesaikannya. Sebenarnya penjelasannya tidak terlalu rumit, tapi karena ada hambatan mental untuk tidak mau menghadapi kenyataan, itu menjadi kendala utama untuk berpikir secara rasional. Selama ini ada mitos bahwa di antara suku-suku bangsa pribumi tidak ada masalah. Yang ada masalah adalah menghadapi suku bangsa nonpri, khususnya orang Tionghoa. Kejadian penjarahan, pembunuhan, dan pemerkosaan terhadap suku bangsa Tionghoa dianggap bukan masalah nasional, karena pihak yang disakiti tidak dapat melawan, hanya dapat nrimo (menerima nasib). Tetapi konflik di antara suku bangsa pribumi menjadi lain. Keadaannya menjadi sangat gawat dan bisa runyam, karena yang disakiti dapat melawan atau berpotensi untuk melawan. Untuk mencari penyebabnya kita harus menghilangkan semua mitosmitos no problem di antara hubungan suku bangsa ''pribumi" di Indonesia. Sebenarnya pertentangan suku bangsa di Indonesia bukan fenomena baru. Pada dasarnya potensi konflik disebabkan oleh adanya prasangkaprasangka antara penduduk asli dan pendatang di Kalimantan Barat. Orang Madura mempunyai prasangka yang berdasarkan pada stereotip negatif terhadap orang Dayak, yakni orang Dayak itu primitif, derajat sosialnya rendah, kafir, kanibal, dan sebagainya. Sebaliknya, orang Dayak juga mempunyai stereotip negatif mengenai orang Madura yang dianggap berdarah panas dan mudah mencabut celurit untuk membunuh. Sebagai pendatang baru, orang Madura gemar hidup eksklusif karena merasa tidak aman. Mereka tetap mempertahankan tradisitradisi mereka, antara lain carok. Sebaliknya, tidak terjadi konflik antara orang Dayak dan orang Tionghoa. Buktinya pada waktu ada serangan terhadap orang Tionghoa di Jakarta Utara dan Jakarta Barat, banyak orang Tionghoa asal Kalimantan Barat yang mengungsi ke daerah asalnya (Kalimantan Barat). Hal itu karena hubungan orang Dayak dan suku bangsa Tionghoa pada akhirakhir ini sudah harmonis. Solidaritas itu dapat terjadi karena kebetulan sekali agama yang dipeluk kedua suku bangsa tersebut adalah sama, yakni Nasrani Katolik, di samping pemujaan kepada roh leluhur dan alam gaib. Dan dalam kehidupan ekonominya pun mereka sejak lama bersifat simbiotis. Orang Dayak adalah pengumpul hasil hutan seperti damar, tengkawang, rotan, dan lainlain; sedangkan orang Tionghoa adalah penyalur komoditi tersebut ke luar desa mereka yang terpencil. Dan pula di pedalaman ada banyak sekali orang Cina yang miskin dalam arti sesungguhnya, sehingga hal itu dirasakan senasib oleh orang Dayak. Hubungan orang Dayak dengan orang Madura menjadi buruk, karena yang terakhir ini adalah pendatang di daerah pedalaman Kalimantan Barat. Oleh orang Dayak yang tergusur karena konsesi hak pengusahaan hutan, orang Madura dijadikan ''kambing hitam" atas kemelaratan mereka. Dan kebetulan sekali suku bangsa pendatang ini beragama lain, yakni Islam, yang patuh lagi, jika tidak mau dikatakan fanatik. Nah, bentrokan tak dapat dihindarkan, apalagi pada waktu wibawa pemerintahan RI sedang goyah akibat gerakan reformasi. Disulut sedikit, berkobarlah konflik yang mengerikan sehingga memakan korban ratusan orang. Konflik Dayak-Tionghoa bukan tidak pernah terjadi, bahkan cukup mengambil korban, sehingga banyak orang Tionghoa yang meninggalkan kampung halaman mereka di pedalaman. Itu terjadi pada permulaan Orde Baru. Sebabnya adalah mereka dicurigai sebagai simpatisan gerakan Komunis Paraku (Pasukan Rakyat Kalimantan Utara). Menurut keterangan peneliti asing, konflik itu direkayasa oleh pemerintah Indonesia bekerja sama dengan pemerintah Malaysia untuk memutuskan logistik (antara lain, sumber makanan) orang komunis. Namun, ada kabar yang mengatakan bahwa anggota Paraku itu sebenarnya bukan komunis, melainkan para pejuang yang hendak memerdekakan Kalimantan Utara dari usaha kolonial Inggris untuk menggabungkannya dengan negara Malaysia. Sebagai kesimpulan dapatlah dikatakan bahwa kerawanan konflik suku bangsa berlaku bagi semua suku bangsa yang ada di Indonesia. Untuk menanggulanginya kita selalu harus jujur dan adil; bebas dari diskriminasi baik ras, kebudayaan, maupun agama. Sejak kecil anakanak Indonesia harus ditanamkan perasaan toleransi atas perbedaan kebudayaan suku bangsa lain, sehingga lambat-laun dapat melenyapkan semua stereotip negatif terhadap suku bangsa lain. Dengan masih adanya kelemahan yang bersifat primordial itu, orang Indonesia mudah sekali disulut untuk berkonflik, bahkan untuk menumpas suku bangsa lain dalam keadaan anomi seperti sekarang.
Sumber :http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/04/06/KL/mbm.19990406.KL94341.id.html