Jumat, 15 Oktober 2010

Sejarah suku dayak dkalimantan

Sedikit menambahkan tentang sejarah suku dayak di Kalimantan :

I. Latar Belakang Sejak lebih dari 1500 tahun yang lalu kehidupan nenek moyang masyarakat Dayak yang datang ke Pulau Kalimantan merupakan masyarakat yang telah memiliki budaya yang tinggi. Namun dalam perkembangan di tanah yang baru (Kalimantan Sekarang) kebudayaan mereka tidak berkembang bahkan cenderung mengalami kemunduran. Dalam kurun waktu sebelum \"Perdamaian Tumbang Anoi\" pada tahun 1984 masyarakat Dayak bermukim berpisah-pisah di perkampungan-perkampungan yang yang tersebar di sepanjang tepi sungai. Sesuai dengan kebutuhannya untuk tempat tinggal di bangun rumah panjang yang disebut \"Betang\" dan menampung seluruh keluarga yang menjadi warga \"Betang\" tersebut. Apabila di perkampungan di rasakan sebuah Betang sudah tidak mencukupi , maka atas mufakat bersama dibangun Betang baru. Betang sebagai tempat hunian bersama di wilayah pedalaman Kalimantan, masih bertahan sampai menjelang akhir abad ke XIX. II. Kedatangan dan Penyebarannya Berdasarkan laporan para ahli antropologi, sesungguhnya Suku Bangsa Dayak yang mendiami Pulau Kalimanatan (dahulu disebut pulau Borneo) bukan benar-benar penduduk asli. Penduduk asli pulau Borneo yang pertama dengan ciri-ciri physik rambut hitam keriting, kulit hitam, hidung pesek dan tinggi badan rata-rata 120 - 130 cm. Mereka di golongkan ke dalam Suku Bangsa Negrito sebagaimana yang masih terdapat sisa-sisanya dalam kelompok kecil di Malaysia Bagian Utara. Di Pulau Kalimantan (Borneo) Kelompok Suku Bangsa Negrito ini di duga telah musnah setelah datangnya suku bangsa baru yang ber-imigrasi dari Benua Asia Sebelah Timur yaitu cina. Menurut para ahli Ethonologi, di Asia pada awal-awal Abad Masehi, pernah terjadi 2 (dua) kali perpindahan bangsa-bangsa. Perpindahan bangsa-bangsa yang pertama terjadi pada abad ke - II yang oleh beberapa ahli disebut proto-melayu dan yang kedua terjadi pada abad ke - IV di sebut Deutero-Melayu. Menurut H.TH. Fisher, migrasi dari asia terjadi pada fase pertama zaman Tretier. Saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan Muller-Schwaner. Dari pegungungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku Bangsa yang datang dan akhirnya mendiami Pulau Kalimantan (Borneo) sebagian besar datang pada perpindahan bangsa-bangsa yang kedua yaitu abad ke -IV tersebut. Terjadinya perpindahan bangsa-bangsa tersebut dilakukan untuk menghindar dari kekejaman Suku Bangsa Tar-Tar dari utara yang terjadi sejak jaman Jengis Khan. Kelompok bangsa-bangsa yang berpindah itulah yang menjadi cikal bakal terbentuknya bangsa baru seperti Bangsa Jepang, Taiwan, Philipina dan sebagian Suku bangsa di Indonesia antara lain Suku bangsa di Manado/Gorontalo/Toraja di Sulawesi; Suku-suku di Riau Kepulauan, Suku Batak/Suku Nias di Sumatera; serta Suku Dayak di Pulau kalimantan (Borneo) kalau demikian timbul pertanyaan : a. Termasuk Rumpun bangsa manakah orang/Suku Dayak Itu? b. Dari manakah mereka berasal? c. Mengapa mereka di sebut orang Dayak ? Sebagai mana di kemukan sebelumnya, nenek monyang orang/suku Dayak adalah imigran bangsa China dari wulayah pegunungan Yunan di Cina Selatan berbatasan dengan Vietnam sekarang. Kelompok migran yang masuk wilayah Kalimantan Tengah sekarang dan menjadi nenek moyang bagi sebagian besar orang/suku Dayak di kalimantan Tengah merupakan bagian dari perpindahan bangsa-bangsa ke-2 pada abad ke-IV. Diduga mereka masuk ke Kalimantan Tengah melalui sedikitnya 3 koridor yaitu: a. Koridor dari Kalimantan Barat menyusuri sungai Kapuas sehingga akhirnya menyeberangi/melintas Pegunungan Schwaner. b. Koridor I dari Kalimantan Timur melalui Kabupaten Kutai Barat Sekarang. c. Koridor II dari kalimantan Timur melalui Kabupaten Pasir Sekarang. Berdasar legenda dan cerita dari para pendahulu. nenek moyang orang/suku Dayak yang mendiami Kalimantan Tengah sama sekali tidak ada kelompok yang masuk di muara-muara sungai di sebelah selatan wilayah Kalimantan tengah yaitu dari Laut Jawa. Seluruhnya masuk kewilayah kalimantan Tengah sekarang adalah melalui bagian Utara dan Timur. Dalam puisi \"TETEK TATUM\" dosebutkan bahwa nenek moyang orang Dayak berasal dari Kerajaan Langit, diturunkan dengan \"Palangka Bulau\" di 1). Tatan Puruk Pamatua, 2). Tatan Liang Mangan Puruk Kaminting dan 3). Puruk Kambang Tanah Siang. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud \"Kerajaan Langit\" jelas menunjukan kepada kerajaan-kerajaan di Cina pada waktu itu. Menurut legenda, nenek moyang orang Dayak berasal dari kerajaan yang terletak di lembah pegunungan Yunan bagian Selatan di Cina Barat laut berbatasan dengan Vietnam sekarang. Raja tersebut bergelar THA WONG yang berarti Raja Besar. Hal ini disebut-sebut dalam puisi \"TETEK TATUM\" dengan sedikit perubahan dari THA WONG menjadi \"TAHAWONG\". Oleh karena itu tidak mengherankan jikalau di kalangan Suku Dayak ada beberapa keluarga dalam memberikan nama bagi anak laki-laki yang lahir di keluarga yang lahir dikeluarganya dengan nama antara lain; Tahawong, Sahawong, Sawong, Tewong. Siwong. Salah satu kelompok migran dari THA WONG tersebut masuk ke Kalimantan Tengah sekarang diduga melalui Kalimantan Barat, dengan menyusuri Sungai Kapuas. Dalam pencarian tempat pemukiman baru yang aman akhirnya kelompok tersbut menyeberani Pegunungan Schwaner. Pemukiman pertama diduga dibangun dihulu anak-anak sungai Katingan antara lain hulu Sungai Baraoi anak Sungai Samba yang terkenal dengan nama \"DATAH OTAP\". Sehingga saat ini ditempat itu masih terdapat puing - puing Betang yang sangat besar. Betang tersebut pada masanya dipastikan sangat kokoh. Tiang-tiang Betang dibuat dari kayu ulin yang berdiameter antara 60-70 cm. Tiang-tiang betang ini lah diduga dimulai penyebaran kelompok-kelompok kecil kesebagian besar wilayah Kalimantan Tengah. Salah satu kelompok kecil yang dipimpin oleh \"ONGKO KALANGKANG\" pindah kearah Timur dan akhirnya menetap di hulu Sungai Kahayan, yaitu di Desa Tumbang Mahuroi sekarang. Warga Suku Dayak Ngaju mengakui bahwa ONGKO KELANGKANG adalah moyang mereka dan merupakan cikal bakal adanya Suku Dayak Ngaju. Dalam Bahasa Ngaju, kata Ongko berarti orang tua, persis sama arti dalam bahasa Cina. Kata kalangkang merupakan pertautan 3 (tiga) kata yaitu : Ka (atau Kho) - Lang dan Kang. Migrasi Ongko Kalangkang ke hulu Sungai kahayan (Tumbang Mahuroi) disertai oleh 7 (tujuh) keluarga anak-menantunya. Atas kesepakatan bersama, maka ke-7 keluarga anak-menantunya tersebut menyebar mencari tempat-tempat pemukiman baru dengan cara menyisir sungai Kahayan kearah hilir (Selatan). Dengan menggunakan rakit-rakit yang dibuat dari bambu dan kayu, rombongan ke-7 keluarga tersebut melakukan perjalan untuk mencari tempat-tempat pemukiman baru yang cocok. Dengan demikian di sepanjang Sungai Kahayan akhirnya terbangun 8 (delapan) perkampungan asal yang merupakan kampung generasi pertama, yaitu : 1. Tumbang Mahuroi (Ongko Kelangkang) 2. Tumbang Pajangei (anak laki-laki) 3. Tampang (anak laki-laki) 4. Sepang Simin (anak laki-laki) 5. Bawan (anak perempuan) 6. Pahawan (anak Perempuan) 7. Bukit Rawi (anak perempuan) 8. Pangkoh (anak perempuan) Yang masih menjadi perdebatan apakah yang dimaksud dengan Dayak? Ini dikarenakan suku-suku yang mendiami Pulau Borneo (Kalimantan) secara umum di sebut Suku Dayak. Yang dimaksud dengan Dayak adalah Sungai. Kata Dayak yang artinya sungai tersebut terdapat pada salah satu anak suku Benuaq di Kalimantan Timur serta bahasa suku (lokal) di Kalimantan barat dan Serawak. Pada awal abad ke - XIX seorang ilmuwan barat sekaligus Missionaris telah melakukan perjalanan panjang selama bertahun-tahun untuk suatu penelitian tentang suku bangsa dan budaya penduduk yang mendiami pulau Borneo. Pada saat itu sungai merupakan satu-satunya prasarana perhubungan dari satu kampung ke kampung lainnya. Disetiap aliran sungai ilmuwan tersebut menyusuri sungai dengan menggunakan perahu yang oleh tenaga upahan dari penduduk setempat. Apabila sampai pada suatu kampung, ia bertanya kepada pengantarnya (guide) tentang nama kampung dan suku bangsa apa yang mendiami tempat itu. namun sampai berakhirnya seluruh perjalanan penelitian tersebut, ternyata bahwa semua suku bangsa yang di temuinya belum mempunyai nama. Oleh karena itulah didalam tulisan akhirnya ilmuwan tersebut menyimpulkan bahwa suku bangsa yang mendiami pulau Borneo diberikannya nama Suku bangsa Dayak yang artinya suku bangsa yang bermukim di sepanjang tepi sungai. (Sumber Buku Adat Istiadat Dayak Ngaju terbitan LSM Pusat Budaya Betang Kalimantan Tengah (LSM PBBKT) Tahun 2003). 

Senin, 04 Oktober 2010

Potret Inkulturasi di Kalangan Dayak-Kalimantan Barat

Tionghoa dalam Dayak : Potret Inkulturasinya di kalangan Dayak, Kalimantan Barat

Orang Dayak memanggilnya “sobat” (sahabat), mereka memanggil Orang Dayak “darat”, kadang-kadang dipanggilnya juga dengan sebutan laci. Laci artinya anak keturunan. La = anak, Ci = orang atau keturunan. Anak hasil perkawinan Dayak dengan Cina disebut Pantokng dan sebaliknya anak hasil perkawinan Cina dengan Dayak dikenal sebagai Pantongla.

Tulisan ini hanya memotret singkat dalam konteks sejarah, bagaimana relasi Dayak dan Cina yang hampir sempurna, khususnya kenapa Orang Dayak memanggil Orang Cina “sobat”, sebuah tata nilai budaya yang sedemikian sempurna, sebagai perwujudan dari nilai-nilai hidup yang dijaga dan dikembangkan selama ini.

Cina Dalam Dayak; Potret Inkulturasinya
Kata La Ci seringkali diplesetkan orang luar untuk mempengaruhi relasi Dayak dengan Cina. Menurut Acui (2005), merujuk pada kata La Ci, mungkin mereka mengakui secara “implisit” bahwa Dayak adalah keturunan dari kelompok imigran yang telah datang masa 3000-1500 Sebelum Masehi. Panggilan “sobat” Orang Dayak kepada Orang Cina diatas bukanlah tanpa alas an. Dalam tradisi yang sangat sakral, misalnya dalam mitologi religiousnya, seorang tokoh Cina merupakan salah satu tokoh penting yang sangat dihormati bahkan diakui sebagai leluhur Orang Dayak. Disebutkan, ada 5 orang tokoh, yang mencipta adat: Ne Unte’ Pamuka’ Kalimantatn, Ne Bancina ka Tanyukng Bunga, Ne Sali ka Sabakal, Ne Onton ka Babao, dan Ne Sarukng ka Sampuro. Menurut pengakuan Singa Ajan (94 tahun, seorang Singa/Timanggong, tinggal di kampong Rees-Menjalin-Landak), Ne Bancina adalah leluhur Orang Cina, beliau tinggal di sebuah tanjung, yang bernama tanjung bunga, daerah pasir panjang-Singkawang sekarang ini.

Sebagaimana sejarahnya, Dayak adalah merupakan keturunan Bangsa Weddoid dan Negrito (Coomans,1987). Orang Negrito dan Weddoid telah ada di Kalimantan sejak tahun 8.000 SM. Mereka tinggal didalam gua dan mata pencaharian mereka berburu binatang. Kelompok ini menggunakan batu sebagai alat berburu dan meramu. Warisan Weddoide yang masih bertahan hingga hari ini dan melekat pada sebagian kecil Orang Dayak adalah menjadikan hewan anjing sebagai hewan sembelih dan kurban pada jubata (Tuhan). Ini terjadi karena pada waktu itu banyak anjing hutan yang liar yang hidup di daerah ini. Binatang ini menjadi hewan buruan yang mudah bagi kaum Weddoide yang masih memiliki peralatan dari batu. Namun, kelompok ini sekarang telah lenyap sama sekali, setelah kedatangan imigran baru yang dikenal sebagai Bangsa Proto Melayu atau Melayu Tua (Wojowasito, 1957). Proto Melayu merupakan imigran kedua yang datang sekitar tahun 3000-1500 SM. Menurut Asmah Haji Omar http://www.amazon.co.uk), peradaban kelompok ini lebih baik dari Negrito, mereka telah pandai membuat alat bercocok tanam, membuat barang pecah belah dan alat-alat perhiasan. Gorys Keraf (1984) mengatakan bahwa, kelompok imigran ini juga telah mengenal logam, sehingga alat perburuan dan pertanian sudah menggunakan besi.

Emas merupakan penyebab terjadinya salah satu migrasi utama Orang Cina ke Kalbar pada akhir abad ke-18 (Jackson,1970). Dari catatan sejarah, tahun 1745, 20 orang Cina didatangkan dari Brunei oleh Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah untuk bekerja pada pertambangan emas, utamanya di Mandor (wilayah Mempawah) dan di Monterado (Sambas). Hasil emas mencapai puncaknya antara tahun 1790 dan 1820. Pada tahun 1810, produksi emas dari Kalbar melebihi 350.000 troy ons, dengan nilai lebih dari 3,7 juta dollar Spanyol (Raffles, 1817). Keberhasilan pertambangan emas ini, menyebabkan Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah terus mendatangkan Orang Cina, hingga pada tahun 1770 orang Cina sudah mencapai 20.000 orang. Menghindari perkelahian sesama perantauan setali sedarah, Lo Fong Fak, pimpinan sebuah kongsi di Mandor menyatukan 14 kongsi yang tersebar dan mendirikan sebuah pemerintahan “republic” Lan Fang pada tahun 1777. Republic ini berkuasa selama 108 tahun, 1777 - 1884. Pada masa Presiden Lan Fang ke-10, Presiden Liu Konsin yang berkuasa sejak 1845-1848, Republik ini pernah melakukan pertempuran dengan Orang Dayak didaerah Mandor, Lamoanak, Lumut, dan sekitarnya, hasilnya Orang Dayak kalah dan sebagian kecil memilih bermigrasi kehilir Sungai Mandor, hingga akhirnya membentuk pemukiman diwilayah Kesultanan Pontianak. Mereka inilah yang menjadi leluhur Orang Dayak di Sei Ambawang. Perang ini dikenal sebagai “Perang Lamoanak”.

Sebagaimana bangsa lainnya, Orang Dayak sudah mengenal tradisi pertanian sebagai mata pencaharian. Dalam mitologinya, sebelum padi dikenal, mereka meramu dan mengumpulkan sagu liar (eugeissona utilis). Sagu liar ini banyak tumbuh ditanah-tanah lembab, dikenal dengan nama rawa-rawa. Mereka mengambil pati dari sagu ini, lalu memelihara tumbuhan sagu, seperti sekarang dilakukan oleh orang Ambawang, Kubu Raya. Untuk mencampur sagu ini, mereka juga mengumpulkan dan memetik “kulat karakng” (sejenis jamur) sebagai makanan pokok kedua.

Karena hasil emas mulai berkurang pada tahun 1820-an dan terus menurun dalam dua dasawarsa berikutnya semakin banyak orang Cina diwilayah Republik Lan Fang yang beralih keperdagangan dan pertanian dengan menanam padi, sayuran dan beternak babi. Hal ini sesuai dengan penelitian Jessup, bahwa tradisi pertanian, khususnya tanaman padi Orang Dayak setidaknya telah dilakukan sejak tahun 1820-an (Jessup, 1981) . Tanaman padi mungkin dibawa oleh imigran Cina ini (Bellwodd;1985). Bellwodd mencatat, padi liar dan padi-padian lain telah dibudidayakan dipunggung Daerah Aliran Sungai Yangtze yaitu dilahan-lahan basah musiman disebelah selatan Propinsi Kwang Tung, Fuk Chian, Yun Nan dan Kwang Sie. Hal ini cocok dengan sebuah tulisan (Asali;2005;3), yang menjelaskan bahwa imigran Cina yang datang ke Kalbar umumnya dari bagian selatan China, khususnya dari Propinsi Kwang Tung, Fuk Chian, Yun Nan, dan Kwang Sie. Orang Dayak kemudian berubah dari masyarakat pengumpul sagu liar menjadi masyarakat yang aktiv menanam padi (Ave, J.B., King, V.T, 1986) dan menyelenggarakan siklus pertanian yang sarat ritual (Atok;2003;19). Padi pertama yang ditanam dikenal dengan nama padi antamu’. Oleh Petani Dayak, hingga sekarang jenis padi ini selalu ditanam, istilahnya “Ngidupatn Banih” (melestarikan benih). Jika merunut sejarah tanaman padi ini, tidaklah mengherankan kalau dalam prosesi perladangan Dayak, dalam siklus tertentu dan keadaan tertentu pula, nyaris mengikuti kalender Cina. Penanggalan Cina amat berpengaruh dalam tradisi perladangan Dayak, hingga hari ini.

Pola pertanian dilahan basah, diyakini juga sebagai warisan Orang Cina di Kalimantan Barat. orang Dayak mengenalnya dengan istilah Papuk/ Gente’/Bancah (sawah). Budaya pertanian ini dibawa kelompok migrasi terakhir dari Propinsi Yun Nan terjadi tahun 1921-1929, ketika di Tiongkok (Cina) terjadi perang saudara. Saat ini, diberbagai tempat kita masih menjumpai nama sawah berasal dari kata Cina. Di Kampung Nangka, 102 Km dari Pontianak, kita dengan mudah mendapatkan nama tempat berasal dari Cina; Ju Tet, Kubita, Pahui, dll. Ini sekaligus bukti, bahwa pencetakan sawah awalnya diperkenalkan mereka. Latar belakang kelompok imigran baru ini memang kebanyakan petani Orang Hakka.

Selain itu, sejak tahun 1880, orang Cina juga mulai membuka perkebunan lada, gambir dan setelah tahun 1910 memulai perkebunan karet (Hevea brasiliensis;Euphorbiaceae) (lihat Dove,R.Michael;1988) . Acong (70 tahun), warga Sei Nyirih Selakau-Sambas, menceritakan pada saya bahwa pernah ada sebuah perusahaan besar “KAHIN”, milik Tjiap Sin. Perusahaan ini berdagang gambir, cengkeh, kopra dan lada, dijualnya ke Singapura. Ia memiliki kapal layar besar. Untuk ke Singapura, mereka hanya membutuhkan waktu sekitar 3 hari dari Selakau. Seiring menipisnya hasil Gambir, Cengkeh, Lada dan Kopra, pada tahun 1958, perusahaan ini tutup.

Pembauran Orang Dayak dengan Orang Cina yang terjadi sejak berabad-abad silam, menurunkan perilaku kebudayaan unik, khususnya peralatan adat istiadat dan hokum adat dalam budaya Dayak. Hari ini, masih dapat kita lihat dari alat-alat peraga adat (dan hukum adat) yang menggunakan keramik-keramik Cina. Pengaruh ini mungkin hasil dari perdagangan dan hubungan diplomasi mereka dengan bangsa Cina yang sempat tercatat dalam sejarah dinasti Cina dari abad ke-7 sampai abad ke-16. Pedagang Cina menukar keramik, guci anggur dan uang logam dengan hasil-hasil hutan yang dikumpulkan Orang Dayak seperti kayu gaharu, gading burung rangok (enggang), serta sarang burung walet. Pedagang dari Siam juga membawa guci-guci yang terbuat dari batu yang masih banyak digunaan Orang Dayak untuk mas kawin dan untuk upacara penguburan (Fridolin Ukur;1992).

Uniknya, pada peristiwa “demonstrasi” yang berlangsung sekitar 2 bulan, dari Oktober hingga November 1967, satu titik waktu dimana rezim Orde Lama beralih ke Orde Baru, Orang Dayak menyebarkan ”Mangkok Merah” sebagai media komunikasinya, untuk ”penghukuman sosial” terhadap Cina dipedalaman yang ditengarai berafiliasi dengan gerombolan PGRS/Paraku yang berideologi komunis. Ratusan ribu Orang Cina harus rela meninggalkan kampung-kampung dipedalaman, dimana sejak ratusan tahun mereka telah berinteraksi positif dengan Orang Dayak.

Tidak cuma itu, istilah keseharian dalam bahasa Cina dengan mudah kita temui dikalangan Orang Dayak. Di Kampung Rees, misalnya hampir semua proses pesta (baik pesta padi, perkawinan, sunatan, dll) istilah-istilah ini muncul. Dari menentukan waktu pesta (penanggalan Cina; ari segol, dll), nama tempat (tapsong, teosong,dll), nama alat (ten, teokang, dll), jenis masakan (saunyuk, tunyuk, dll) hingga prosesi makan (concok). Bahkan,alat-alat pesta maupun alat peraga adat (dan hokum adat) juga menggunakan prototive yang berasal dari Cina, misalnya; tempayan (tapayatn jampa, siam, manyanyi, batu, dll), mangkuk (mangkok), piring (pingatn), sendok (teokang), nampan (pahar), dll.

Dalam tradisi minuman, Cina dalam Dayak juga dapat kita lihat dari tradisi minuman keras, khususnya jenis arak. Sebelumnya Orang Dayak hanya mengenal tuak, yang terbuat dari saripati tanaman aren. Di Cina, minum arak sudah menjadi budaya yang tak terpisahkan. Oleh karena itu kita mengenal dewa mabuk dalam cerita-cerita kungfu. Arak, selain untuk meramu obat tradisional Cina, yang dikenal sebagai “tajok/pujok” oleh Orang Dayak juga sebagai bahan penyedap. Kini, arak telah menjadi bagian sehari-hari bagi kehidupan Orang Dayak.

Tak cuma itu, Cina dalam Dayak juga dapat dilihat dari persenjataan, khususnya pembuatan senjata api “senjata lantak” sebagai alat berburu dari Orang Cina. Bubuk mesiu ditemukan oleh ahli ahli kimia Cina pada abad ke-9 ketika sedang mencoba membuat ramuan kehidupan abadi. Bubuk mesiu ini dibawa tentara Cina yang menetap di Kalimantan setelah tujuan mereka menghukum Raja Kertanegara. Banyak bukti bahwa penggunaannya dengan belerang banyak dipakai sebagai obat (Wayne Cocroft; 2000). Sebelum mengenal senjata lantak dan mesiu, senjata untuk berburu dikalangan Orang Dayak masih berupa tombak dan sumpit. Tidak cuma itu, “judi” juga diperkenalkan kelompok etnik ini kepada Orang Dayak. Beragam jenis judi; Liong Fu, Te Fo, Kolok-Kolok, Sung Fu, dan lain-lain sangat digemari Orang Dayak hingga hari ini. Disetiap pesta, keramaian, warung/toko, dengan mudah ita menjumpai jenis-jenis permainan judi ini.

Dan bahkan, kegigihan Orang Cina dalam politik juga menjadi inspirasi bagi Orang Dayak. Sejak tahun 1941, mereka mulai mengembangkan diri dalam perjuangan politik. Sebagaimana diketahui, umumya kelompok Cina di Kalimantan Barat berasal dari Orang Hakka yang sangat terkenal keuletannya.Orang Hakka lebih independent-minded (berpikiran bebas), lebih mudah melepaskan diri dari tradisi dan menangkap idea baru untuk hidup. Tidak heran, orang Hakka adalah termasuk orang tionghoa yang cepat mengadopsi ide-ide Barat dibanding dengan yang lain dan mengkombinasikannya dengan budaya Hakka. Dan tekanan kepahitan hidup yang mereka rasakan menjadikan mereka lebih mudah menjadi kaum revolusioner, lebih progresif, dan lebih berani maju untuk menuntut pembaharuan, dan banyak pelopor-pelopor pembaharuan Cina modern berasal dari Hakka. Fleksibilitas orang Hakka dalam menyerap ide-ide baru, tidak bersikeras untuk mempertahankan tradisi lama yang menghambat, menjadikan Hakka sebagai etnis yang unik dalam sejarah China modern. Bukan kebetulan, kalau pemberontakan terbesar di China pada abad ke-19 yang melibatkan puluhan juta manusia, dan termasuk pemberontakan paling berdarah dalam sejarah kemanusiaan didunia, dimotori oleh orang Hakka. Literasi sejarah inilah yang kemudian disambung Orang Hakka di Kalimantan Barat dengan mendirikan sebuah Negara “republic” Lan Fang tahun 1777-1884. Selama Kolonial Belanda, republic ini pernah 2 kali berperang dengan Belanda, yakni tahun 1854-1856 dan tahun 1914-1916. Perang itu dinamakan “Perang Kenceng” oleh masyarakat Kalbar.

Sikap revolusioner Orang Cina juga muncul ketika Jepang menduduki Pontianak tahun 1941. Sekelompok Cina mendirikan organisasi bawah tanah dan menyiapkan diri untuk perang terbuka, namun niat ini menjadi hilang ketika hadir ”tragedi mandor”, sebuah pembunuhan massal oleh Jepang di Mandor, bekas ibukota Republik Lan Fang. Orang Cina kehilangan banyak sumberdaya manusia yang berkualitas dan mampu secara ekonomi. Dan karena sikap yang cenderung bersahabat dengan Orang Dayak, melalui Partai Persatuan Daya (PD), membuat sebagian elit Orang Cina yang lolos dari ”penyungkupan” berhasil mengkonsolidasi kekuatan politiknya, dan pada pemilu 1955 dan pemilu 1958, kelompok ini menang. Hal ini kemudian mengantarkan JC.Oevaang Oeray, tokoh Dayak asal Hulu Kapuas menjadi Gubernur Kalimantan Barat dan berhasil menempatkan dirinya sebagai refresentasi kelompok etnik yang berkuasa selama delapan (8) tahun. Dipergantian rezim Orde Lama ke rezim Orde Baru, hubungan Cina-Dayak terganggu dengan munculnya peristiwa “demonstrasi”, persahabatan sirna dan akibatnya puluhan ribu orang Cina harus rela “keluar” dari teritori Dayak dan mengkonsentrasikan diri di kawasan pesisir, yang selama ini menjadi teritori “Melayu”. Empat puluh satu tahun (41 tahun) terabaikan, dipenghujung tahun 2007, konsolidasi politik Orang Cina dan Orang Dayak menemukan klimaksnya, mereka kembali menempatkan dirinya sebagai refresentasi kelompok etnik yang berkuasa di Kalimantan Barat.

Penutup
Jika merujuk pada fakta budaya pada kelompok etnik Dayak Mampawah diatas, bagi saya, kemungkinan besar budaya Dayak sekarang ini merupakan hasil inkulturasi budaya Cina, walaupun kenyataannya menjadi budaya yang diakui sebagai tradisi Dayak. Mungkin saja, contoh diatas hanyalah contoh kecil dari inkulturasi Cina dalam Dayak. Saya memahami bahwa kebudayaan itu selalu bersifat dinamis, namun fakta bahwa tatanan social dan tradisi Dayak telah berinkulturasi secara tajam dan dalam dengan budaya Cina. Cina benar-benar telah masuk dalam diri Dayak, diberbagai bidang kehidupan, hingga hari ini.
________________
Tulisan ini disampaikan pada Kongres Kebudayaan Kalimantan Barat, Pontianak, 25-27 Agustus 2008. Penulis adalah Ketua Palma Institute, mahasiswa Magister Ilmu Sosial Universitas Tanjungpura Pontianak.

Tionghoa, Dayak - Madura

James Danandjaja Guru Besar Antropologi dan Folklor FISIPUI Akibat gerakan reformasi yang kebablasan, orang kehilangan arah. Para aparat negara yang selama ini dapat meredam semua kerusuhan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) menjadi kebingungan dan kehilangan pegangan. Mereka tidak berani bertindak tegas, karena takut dituduh melanggar hak asasi manusia. Beberapa suku bangsa menuntut untuk merdeka. Rasa senasib dan sepenanggungan sebagai suatu bangsa yang selama ini berhasil dipelihara makin pudar. Pada kerusuhan Mei tahun lalu, orang mempunyai prasangka buruk berdasarkan stereotip terhadap suku bangsa yang mereka golongkan sebagai ''nonpri", mereka tidak terusik hati nuraninya, karena menganggap bahwa perlakuan itu setimpal. Para suku bangsa nonpri itu patut dihukum, karena mereka itu rakus, materialistis, suka hidup eksklusif, dan sebagainya, seperti lakunya Edi Tansil dan Liem Sioe Liong. Sedihnya, kedua tokoh itu, di luar persetujuan suku bangsa Cina, tiba-tiba dijadikan Kapitein de Chinesen, sehingga perilaku buruk mereka harus ditanggung bersama oleh suku bangsa Tionghoa di seluruh Indonesia. Namun, kemudian orang terhentak sewaktu terjadi konflik antar-suku bangsa yang tergolong ''pribumi", seperti yang terjadi di Jalan Ketapang Jakarta Barat (antara orang Ambon dan orang Betawi), di Kupang, Ambon, dan itu belum selesai sudah disambung lagi dengan konflik di Kalimantan Barat (antara orang Dayak dan Madura). Jadi, penjelasannya menjadi rumit, apalagi menyelesaikannya. Sebenarnya penjelasannya tidak terlalu rumit, tapi karena ada hambatan mental untuk tidak mau menghadapi kenyataan, itu menjadi kendala utama untuk berpikir secara rasional. Selama ini ada mitos bahwa di antara suku-suku bangsa pribumi tidak ada masalah. Yang ada masalah adalah menghadapi suku bangsa nonpri, khususnya orang Tionghoa. Kejadian penjarahan, pembunuhan, dan pemerkosaan terhadap suku bangsa Tionghoa dianggap bukan masalah nasional, karena pihak yang disakiti tidak dapat melawan, hanya dapat nrimo (menerima nasib). Tetapi konflik di antara suku bangsa pribumi menjadi lain. Keadaannya menjadi sangat gawat dan bisa runyam, karena yang disakiti dapat melawan atau berpotensi untuk melawan. Untuk mencari penyebabnya kita harus menghilangkan semua mitosmitos no problem di antara hubungan suku bangsa ''pribumi" di Indonesia. Sebenarnya pertentangan suku bangsa di Indonesia bukan fenomena baru. Pada dasarnya potensi konflik disebabkan oleh adanya prasangkaprasangka antara penduduk asli dan pendatang di Kalimantan Barat. Orang Madura mempunyai prasangka yang berdasarkan pada stereotip negatif terhadap orang Dayak, yakni orang Dayak itu primitif, derajat sosialnya rendah, kafir, kanibal, dan sebagainya. Sebaliknya, orang Dayak juga mempunyai stereotip negatif mengenai orang Madura yang dianggap berdarah panas dan mudah mencabut celurit untuk membunuh. Sebagai pendatang baru, orang Madura gemar hidup eksklusif karena merasa tidak aman. Mereka tetap mempertahankan tradisitradisi mereka, antara lain carok. Sebaliknya, tidak terjadi konflik antara orang Dayak dan orang Tionghoa. Buktinya pada waktu ada serangan terhadap orang Tionghoa di Jakarta Utara dan Jakarta Barat, banyak orang Tionghoa asal Kalimantan Barat yang mengungsi ke daerah asalnya (Kalimantan Barat). Hal itu karena hubungan orang Dayak dan suku bangsa Tionghoa pada akhirakhir ini sudah harmonis. Solidaritas itu dapat terjadi karena kebetulan sekali agama yang dipeluk kedua suku bangsa tersebut adalah sama, yakni Nasrani Katolik, di samping pemujaan kepada roh leluhur dan alam gaib. Dan dalam kehidupan ekonominya pun mereka sejak lama bersifat simbiotis. Orang Dayak adalah pengumpul hasil hutan seperti damar, tengkawang, rotan, dan lainlain; sedangkan orang Tionghoa adalah penyalur komoditi tersebut ke luar desa mereka yang terpencil. Dan pula di pedalaman ada banyak sekali orang Cina yang miskin dalam arti sesungguhnya, sehingga hal itu dirasakan senasib oleh orang Dayak. Hubungan orang Dayak dengan orang Madura menjadi buruk, karena yang terakhir ini adalah pendatang di daerah pedalaman Kalimantan Barat. Oleh orang Dayak yang tergusur karena konsesi hak pengusahaan hutan, orang Madura dijadikan ''kambing hitam" atas kemelaratan mereka. Dan kebetulan sekali suku bangsa pendatang ini beragama lain, yakni Islam, yang patuh lagi, jika tidak mau dikatakan fanatik. Nah, bentrokan tak dapat dihindarkan, apalagi pada waktu wibawa pemerintahan RI sedang goyah akibat gerakan reformasi. Disulut sedikit, berkobarlah konflik yang mengerikan sehingga memakan korban ratusan orang. Konflik Dayak-Tionghoa bukan tidak pernah terjadi, bahkan cukup mengambil korban, sehingga banyak orang Tionghoa yang meninggalkan kampung halaman mereka di pedalaman. Itu terjadi pada permulaan Orde Baru. Sebabnya adalah mereka dicurigai sebagai simpatisan gerakan Komunis Paraku (Pasukan Rakyat Kalimantan Utara). Menurut keterangan peneliti asing, konflik itu direkayasa oleh pemerintah Indonesia bekerja sama dengan pemerintah Malaysia untuk memutuskan logistik (antara lain, sumber makanan) orang komunis. Namun, ada kabar yang mengatakan bahwa anggota Paraku itu sebenarnya bukan komunis, melainkan para pejuang yang hendak memerdekakan Kalimantan Utara dari usaha kolonial Inggris untuk menggabungkannya dengan negara Malaysia. Sebagai kesimpulan dapatlah dikatakan bahwa kerawanan konflik suku bangsa berlaku bagi semua suku bangsa yang ada di Indonesia. Untuk menanggulanginya kita selalu harus jujur dan adil; bebas dari diskriminasi baik ras, kebudayaan, maupun agama. Sejak kecil anakanak Indonesia harus ditanamkan perasaan toleransi atas perbedaan kebudayaan suku bangsa lain, sehingga lambat-laun dapat melenyapkan semua stereotip negatif terhadap suku bangsa lain. Dengan masih adanya kelemahan yang bersifat primordial itu, orang Indonesia mudah sekali disulut untuk berkonflik, bahkan untuk menumpas suku bangsa lain dalam keadaan anomi seperti sekarang.
Sumber :http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/04/06/KL/mbm.19990406.KL94341.id.html