Senin, 04 Oktober 2010

Tionghoa, Dayak - Madura

James Danandjaja Guru Besar Antropologi dan Folklor FISIPUI Akibat gerakan reformasi yang kebablasan, orang kehilangan arah. Para aparat negara yang selama ini dapat meredam semua kerusuhan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) menjadi kebingungan dan kehilangan pegangan. Mereka tidak berani bertindak tegas, karena takut dituduh melanggar hak asasi manusia. Beberapa suku bangsa menuntut untuk merdeka. Rasa senasib dan sepenanggungan sebagai suatu bangsa yang selama ini berhasil dipelihara makin pudar. Pada kerusuhan Mei tahun lalu, orang mempunyai prasangka buruk berdasarkan stereotip terhadap suku bangsa yang mereka golongkan sebagai ''nonpri", mereka tidak terusik hati nuraninya, karena menganggap bahwa perlakuan itu setimpal. Para suku bangsa nonpri itu patut dihukum, karena mereka itu rakus, materialistis, suka hidup eksklusif, dan sebagainya, seperti lakunya Edi Tansil dan Liem Sioe Liong. Sedihnya, kedua tokoh itu, di luar persetujuan suku bangsa Cina, tiba-tiba dijadikan Kapitein de Chinesen, sehingga perilaku buruk mereka harus ditanggung bersama oleh suku bangsa Tionghoa di seluruh Indonesia. Namun, kemudian orang terhentak sewaktu terjadi konflik antar-suku bangsa yang tergolong ''pribumi", seperti yang terjadi di Jalan Ketapang Jakarta Barat (antara orang Ambon dan orang Betawi), di Kupang, Ambon, dan itu belum selesai sudah disambung lagi dengan konflik di Kalimantan Barat (antara orang Dayak dan Madura). Jadi, penjelasannya menjadi rumit, apalagi menyelesaikannya. Sebenarnya penjelasannya tidak terlalu rumit, tapi karena ada hambatan mental untuk tidak mau menghadapi kenyataan, itu menjadi kendala utama untuk berpikir secara rasional. Selama ini ada mitos bahwa di antara suku-suku bangsa pribumi tidak ada masalah. Yang ada masalah adalah menghadapi suku bangsa nonpri, khususnya orang Tionghoa. Kejadian penjarahan, pembunuhan, dan pemerkosaan terhadap suku bangsa Tionghoa dianggap bukan masalah nasional, karena pihak yang disakiti tidak dapat melawan, hanya dapat nrimo (menerima nasib). Tetapi konflik di antara suku bangsa pribumi menjadi lain. Keadaannya menjadi sangat gawat dan bisa runyam, karena yang disakiti dapat melawan atau berpotensi untuk melawan. Untuk mencari penyebabnya kita harus menghilangkan semua mitosmitos no problem di antara hubungan suku bangsa ''pribumi" di Indonesia. Sebenarnya pertentangan suku bangsa di Indonesia bukan fenomena baru. Pada dasarnya potensi konflik disebabkan oleh adanya prasangkaprasangka antara penduduk asli dan pendatang di Kalimantan Barat. Orang Madura mempunyai prasangka yang berdasarkan pada stereotip negatif terhadap orang Dayak, yakni orang Dayak itu primitif, derajat sosialnya rendah, kafir, kanibal, dan sebagainya. Sebaliknya, orang Dayak juga mempunyai stereotip negatif mengenai orang Madura yang dianggap berdarah panas dan mudah mencabut celurit untuk membunuh. Sebagai pendatang baru, orang Madura gemar hidup eksklusif karena merasa tidak aman. Mereka tetap mempertahankan tradisitradisi mereka, antara lain carok. Sebaliknya, tidak terjadi konflik antara orang Dayak dan orang Tionghoa. Buktinya pada waktu ada serangan terhadap orang Tionghoa di Jakarta Utara dan Jakarta Barat, banyak orang Tionghoa asal Kalimantan Barat yang mengungsi ke daerah asalnya (Kalimantan Barat). Hal itu karena hubungan orang Dayak dan suku bangsa Tionghoa pada akhirakhir ini sudah harmonis. Solidaritas itu dapat terjadi karena kebetulan sekali agama yang dipeluk kedua suku bangsa tersebut adalah sama, yakni Nasrani Katolik, di samping pemujaan kepada roh leluhur dan alam gaib. Dan dalam kehidupan ekonominya pun mereka sejak lama bersifat simbiotis. Orang Dayak adalah pengumpul hasil hutan seperti damar, tengkawang, rotan, dan lainlain; sedangkan orang Tionghoa adalah penyalur komoditi tersebut ke luar desa mereka yang terpencil. Dan pula di pedalaman ada banyak sekali orang Cina yang miskin dalam arti sesungguhnya, sehingga hal itu dirasakan senasib oleh orang Dayak. Hubungan orang Dayak dengan orang Madura menjadi buruk, karena yang terakhir ini adalah pendatang di daerah pedalaman Kalimantan Barat. Oleh orang Dayak yang tergusur karena konsesi hak pengusahaan hutan, orang Madura dijadikan ''kambing hitam" atas kemelaratan mereka. Dan kebetulan sekali suku bangsa pendatang ini beragama lain, yakni Islam, yang patuh lagi, jika tidak mau dikatakan fanatik. Nah, bentrokan tak dapat dihindarkan, apalagi pada waktu wibawa pemerintahan RI sedang goyah akibat gerakan reformasi. Disulut sedikit, berkobarlah konflik yang mengerikan sehingga memakan korban ratusan orang. Konflik Dayak-Tionghoa bukan tidak pernah terjadi, bahkan cukup mengambil korban, sehingga banyak orang Tionghoa yang meninggalkan kampung halaman mereka di pedalaman. Itu terjadi pada permulaan Orde Baru. Sebabnya adalah mereka dicurigai sebagai simpatisan gerakan Komunis Paraku (Pasukan Rakyat Kalimantan Utara). Menurut keterangan peneliti asing, konflik itu direkayasa oleh pemerintah Indonesia bekerja sama dengan pemerintah Malaysia untuk memutuskan logistik (antara lain, sumber makanan) orang komunis. Namun, ada kabar yang mengatakan bahwa anggota Paraku itu sebenarnya bukan komunis, melainkan para pejuang yang hendak memerdekakan Kalimantan Utara dari usaha kolonial Inggris untuk menggabungkannya dengan negara Malaysia. Sebagai kesimpulan dapatlah dikatakan bahwa kerawanan konflik suku bangsa berlaku bagi semua suku bangsa yang ada di Indonesia. Untuk menanggulanginya kita selalu harus jujur dan adil; bebas dari diskriminasi baik ras, kebudayaan, maupun agama. Sejak kecil anakanak Indonesia harus ditanamkan perasaan toleransi atas perbedaan kebudayaan suku bangsa lain, sehingga lambat-laun dapat melenyapkan semua stereotip negatif terhadap suku bangsa lain. Dengan masih adanya kelemahan yang bersifat primordial itu, orang Indonesia mudah sekali disulut untuk berkonflik, bahkan untuk menumpas suku bangsa lain dalam keadaan anomi seperti sekarang.
Sumber :http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/04/06/KL/mbm.19990406.KL94341.id.html

Tidak ada komentar: